TERTUNDUK: Salahsatu terdakwa kasus penganiayaan terdahap wartawan sedang menjalani persidangan di Pengadilan Militer I/02, Rabu (6/9/2017). Pelaku yang diganjar hukuman 3 bulan kurungan. (ist)

medanToday.com, MEDAN – Romel P Sihombing, oknum prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara (AU) yang didakwa menganiaya jurnalis telah dijatuhkan vonis.

Majelis hakim Pengadilan Militer I-02 menghukum Romel dengan kurungan penjara selama 3 bulan.

Namun hukuman itu dianggap terlalu ringan oleh Tim Advokasi Pers Sumut. Tak hanya itu, persidangan juga dinilai tidak adil karena pelaku penganiayaan terhadap jurnalis Tribun Medan, Array R Argus hanya dijerat Pasal 351 KUHPidana, padahal perbuatan melawan hukum itu dilakukan beramai-ramai sebagaimana tertuang dalam dakwaan yang tercantum Pasal 170 KUHPidana.

“Padahal dalam persidangan, terdakwa telah mengakui sendiri kepada majelis hakim bahwa ada melakukan pemukulan kepada korban dengan kursi plastik hingga patah, dan juga terdapat unsur pengeroyokan yang dilakukan bersama-sama, tapi nyatanya tindakan tersebut justru dihilangkan. Kami menganggap putusan ini ada yang aneh,” kata Tim Advokasi Pers Sumut dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Aidil Aditya dalam siaran pers yang diterima, Rabu (6/9/2017).

Dia juga menyebut, keanehan itulah yang memunculkan kecurigaan adanya rekayasa persidangan yang dilakukan oleh institusi TNI AU.

Tim Advokasi Pers Sumut pun akan terus mengawal kasus ini meski perkara yang dialami Array sudah ditutup di pengadilan militer, dengan mendesak Oditur Militer untuk melakukan banding.

“Kami akan mengawal bagaimana agar Oditur Militer melakukan upaya hukum kembali, terhadap apa yang di dakwanya, justru dinyatakan hakim tidak terbukti. Ini menyangkut marwah Odmil (Oditur Militer).

Sebagai korban menganiayaan “alat negara”, Array sangat kecewa. Dia menyebut proses persidangan terkesan selalu diulur-ulur oleh majelis hakim hanya untuk menunggu kehadiran terdakwa.

Dia berharap, Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo memperbaiki mental peradilan di Pengadilan Militer I-02 Medan.

“Jika ketidakdisiplinan dalam proses persidangan dibiarkan begitu saja, tentu kepercayaan masyarakat terhadap TNI pasti akan hilang,” ujarnya.

Sedangkan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Agoez Perdana menilai putusan hakim tidak membuat efek jera.

Bahkan Agoes menyebut Oditur tidak memasukkan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Padahal, di dalam Pasal 18 Ayat 1 disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara dan denda.

“Namun pasal ini pun dari awal sekali tidak dimasukkan oleh penyidik. Hal ini menunjukkan bahwa pihak TNI AU berusaha untuk melindungi prajuritnya dengan mengganjar hukuman ringan saja,” ujarnya.

Sedangkan Ketua Majelis Hakim, Kolonel CHK Budi Purnomo usai persidangan mengatakan, bahwa saat ini sudah keterbukaan informasi, dan hukum akan diproses sesuai mekanismenya.

“Sekarang zaman keterbukaan, semuanya melalui proses hukum. Kita harus menghargai proses hukum, kamu yang muda jangan terbawa emosi, semuanya ada hukum yang mengatur,” katanya.

Sidang perdana penganiayaan jurnalis yang dialami Array A Argus pertama kali digelar 19 Juni 2017 lalu, sedangkan penganiayaan itu terjadi 15 Agustus 2016.

Saat itu, para korban sedang meliput kerusuhan antara masyarakat dengan sejumlah prajurit TNI AU di Kelurahan Sari Rejo, Polonia.

Saat kerusuhan tersebut ada 6 jurnalis yang jadi korban. Padahal mereka sudah menunjukkan identitas. Tapi kebrutalan oknum anggota TNI AU tetap berlanjut.

(MTD/rel/san)