“Pak Kumis mau datang. Alat rekam pasang,” katanya.

Ini bukan dialog cerpen atau sejenisnya. Ini suara rekaman di persidangan. Rekaman yang akhirnya “dijadikan” bukti kuat untuk menciduk dan menahan sang “pangeran” KPK pada tahun 2009, Antasari Azhar.

Pak Kumis. Begitulah ia dipanggil Karno, pembantu Sigit Haryo Wibisono, terdakwa dugaan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasruddin Zulkarnaen. Persidangan awal yang akhirnya memaksanya menghabiskan selama 2000 hari lebih di penjara. Alias delapan tahun lebih merapikan kumisnya yang melintang di balik jeruji!

Ia juga dipanggil “Bang Kumis” Rani Juliani. Seorang caddy golf cantik yang diposisikan sebagai pemicu cinta segitiga berdarah. Setidaknya itu versi polisi dan yang membuat hakim membuat Pak Kumis dipenjara hingga peringatan Hari Pahlawan tahun ini.

Persidangan yang ruwet. Pembuktian yang njelimet. Kisah dongeng yang dipaksakan menjadi true story. Begitulah cibiran sebagian orang ketika Pak Kumis “dipaksa” masuk penjara. Padahal, ia mengaku tak melakukan apapun terkait hilangnya nyawa Nasruddin.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Klas I Dewasa Pria Tangerang disambut oleh istri, anak dan cucunya, Tangerang, Banten, Kamis, 10 November 2016. ANTARA FOTO/Lucky R
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Klas I Dewasa Pria Tangerang disambut oleh istri, anak dan cucunya, Tangerang, Banten, Kamis, 10 November 2016. ANTARA FOTO/Lucky R

Selingkuh atau poligami dipadu dengan konspirasi pembunuhan telah menjadi ‘kendaraan taktis’ membungkam lawan politik. Di Indonesia jangan coba-coba bermain mata dengan perempuan, modus pemberangusan dengan skandal perempuan akan ‘bersemayam’ cukup lama di benak rakyat.

Delapan tahun, kumis yang dulunya lebat dan hitam itu kini sedikit beruban. Tapi setidaknya masih mampu menjadi tembok penghalang agar air mata tidak luruh ke bibirnya. Ketika ia terisak di hari kebebasannya, hari ini, 10 November 2016. Tepat pukul 10.10 WIB. Di akhir isaknya, ia menggaungkan tekad.

“Cukup saya dizalimi dan dianiaya, saya memaafkan. Saya ingin yang menzalimi saya lebih bahagia dari saya,” katanya terbata-bata. Inikah akhir kisah dongeng yang dipaksakan selama delapan tahun?

Cerita tentang Hari Pahlawan, saya terngiang Pangeran Antasari. Pahlawan nasional asal Banjar, Kalimantan Selatan. Kumisnya yang khas melintang garang di lembaran uang dua ribu rupiah. Bentuknya mirip kumis Che Guevara.

Haram Manyarah waja sampai kaputing. Pekik Pangeran Antasari lantang. Pantang menyerah sampai titik darah penghabisan.

Harapan masyarakat mungkin sama. Bebasnya Pak Kumis di Hari Pahlawan bukan kebetulan, meski disengaja. Tapi buat sebagian orang, mereka berharap ini hari perlawanan. Untuk pendzaliman. Ini soal kumis, yang kerap menjadi simbol kebanggaan kaum pria. Ini bukan soal dendam Pak Kumis. Ini mungkin soal kebenaran bagi masyarakat.

Ini bukan dendam Pak Kumis. Bukan pula soal waktu yang terbuang selama delapan tahun. Ini soal cucumu kelak yang mungkin bertanya.

“Kakek Kumis, kenapa kakek dipenjara?”.

____

Penulis : Yuna Betigan | [email protected]