medanToday.com, JAKARTA – Riset Inventures Indonesia melansir, masyarakat semakin senang membelanjakan uang mereka untuk jalan-jalan. Toh, akses masyarakat untuk mendapatkan fasilitas jalan-jalan lebih mudah dan murah.

Managing Partner Inventures Indonesia Yuswohady mengatakan, kondisi ini disebabkan lantaran banyak pelaku usaha yang berlomba-lomba menawarkan jasa melancong dengan tarif yang lebih kompetitif.

Kondisi ini memungkinkan masyarakat untuk bisa merasakan jalan-jalan dengan konsep low cost tourism (biaya murah). Fenomena ini juga mementahkan anggapan bahwa jalan-jalan selalu dikaitkan sebagai aktivitas orang kaya semata.

“Saya lebih senang ini disebut sebagai ‘Traveloka Effect’, di mana hotel terbilang lebih murah, penerbangan bisa murah, dan semuanya dilakukan secara digital. Sudah gampang dan murah,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (28/12).

Secara lebih rinci, ia melanjutkan, fenomena low cost tourism ini dapat dilihat dari beberapa indikator. Yang pertama, tingat okupansi budget hotel semakin meningkat dari kisaran 10 hingga 20 persen di 2013 lalu hingga melampaui angka 40 persen di tahun ini.

Selain itu, sebagian besar pemesanan tiket kini dilakukan melalui aplikasi. Sebanyak 65,77 persen pelancong memesan tiket hotel melalui aplikasi, sedangkan 18,81 persen pelancong lain yang memesan langsung ke hotel dan 17,31 persen pelancong memesan melalui agen wisata.

Adapun, sebagian besar responden enggan menggunakan agen travel karena dianggap terlalu mahal.

“Kalau memang dari sisi suplai sudah begitu mengakomodasi orang untuk melancong dengan mudah, maka ini bisa mendorong permintaan konsumen yang lebih tinggi lagi,” ucapnya.

Tentu saja, fenomena low cost tourism ini tidak bisa berjalan tanpa ada permintaan masyarakat yang juga tinggi. Ia menuturkan, tren permintaan akan barang dan jasa demi kepuasan diri (leisure economy) akan terus melonjak seiring kenaikan pendapatan per kapita masyarakat.

Ketika pendapatan meningkat, maka masyarakat sudah memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) dan mulai beralih ke kebutuhan sekunder, seperti leisure. Menurut dia, fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun sebagian besar negara-negara yang masuk menjadi negara berpendapatan menengah (middle income countries) juga mengalami pergeseran kebutuhan yang serupa.

“Kebutuhan dasar mereka saat ini bukan lagi soal rumah yang muluk-muluk, menuntut harus punya kendaraan seperti apa, dan lainnya. Tapi mereka ini sebetulnya ingin punya experience, seperti makan di luar, nonton konser, sampai liburan. Dari sisi suplai sudah mendukung, permintaan juga tinggi, saya yakin tren ini akan terus berkesinambungan,” pungkasnya.

(mtd/min)