Setiap 10 November, bangsa Indonesia rutin memperingati Hari Pahlawan. Setiap tahun pula, kita menyaksikan arsip kepahlawanan rutin diperbaharui .

Tahun ini, setidaknya kita menambah 4 nama di tumpukan dokumen pahlawan baru yakni Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) M. Zainuddin Abdul Madjid asal NTB, Laksamana Malahayati (Keumalahayati) asal Aceh, Sultan Mahmud Riayat Syah asal Kepulauan Riau, dan Lafran Pane asal Yogyakarta.

Satu hal yang pasti dari setiap momen penyerahan gelar kepahlawan itu. Diukur dari perjuangan, jejak, reputasi, konsep, pemikiran, kontribusi dan peristiwa. Kemudian diusulkan oleh si pencatat sejarah lalu di putuskan oleh presiden dan diumumkan sebelum tanggal 10 November.

Artinya penerima gelar kepahlawan tidak lepas dari subjektifitas yang menganugerahkan.

Tak jarang, pelbagai kepentingan politis mengikuti penganugerahan gelar kepahlawan tersebut.

Hal ini terus diulang-ulang selama bertahun-tahun. Sensasinya diajarkan di ruang-ruang akademis secara berjenjang dari tingkatan SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi sebagai sebuah kebenaran sosial. Ditingkatan politik yang lebih tinggi kita pengajaran akan sejarah di dikotomi dengan istilah pejuang dan pecundang.

Tak jarang, sensasi gelar kepahlawan digunakan untuk kepentingan politis secara berkala jelang peristiwa pesta demokrasi.

Gambar-gambar pahlawan dipampangkan di baliho-baliho kampanye jelang Pemilu atau Pilkada bersamaan dengan calon dan partai politik yang akan mengikuti pemilu.

Seolah gambar pahlawan tersebut mewakili diri, pemikiran dan kebijakan politik si pembuat baliho yang namanya ada di papan reklame kampanye politik.

Komersialisasi politik semacam ini tentu mengisyaratkan sensasi gelar kepahlawanan begitu penting hanya sekadar kebutuhan politik sesaat. Layaknya foto-foto Soekarno, Jendral Sudirman, Kyai Haji Mohammad Hasjim Asy’arie di baliho-baliho kampanye jelang pemilu.

Apa yang kita saksikan hari-hari ini di setiap momentum politik komersialisasi sensasi gelar kepahlawanan di papan reklame atau baliho kampanye politik adalah fenomena nyata ketidakpedean banyak politisi dan partai politik terhadap dirinya sendiri dan kelembagaan politik tempatnya bernaung.

Itu juga yang membuat, generasi politisi saat ini tidak pede dengan dirinya dan pemikirannya.

Sering sekali, argumentasi pemasangan foto tersebut adalah relasi keluarga dengan di pencatut foto pahlawan tersebut. Pada konteks ini, secara logis dirinya telah mengingkari kepahlawan si tokoh.

Sebab, ketika gelar kepahlawan itu diberikan artinya tokoh tersebut tidak lagi milik keluarga tapi diwakafkan untuk bangsa dan negara.

Kita sedang berada di titik ini, harus bisa menegaskan bahwa gelar kepahlawan adalah penghargaan negara atas konsep, pemikiran dan perjuangan seseorang terhadap bangsa dan negara.

Artinya gelar kepahlawan, bukan sekadar sensasi yang hendak di eksploitasi tapi di eksplorasi demi menjaga nilai-nilai pahlawan tersebut dengan cara kita di jaman sekarang, jaman yang berbeda sebelumnya.

Selamat hari pahlawan, kawan…

===========
Penulis: Anwar Saragih | Editor Medan Today juga merupakan Dosen Luar Biasa Ilmu Politik USU