medanToday.com – Persaingan tingkat tinggi kadang membuat yang tidak terlibat langsung suka menebak-nebak. Melahirkan banyak pengamat baru dengan ragam argumen data angka, pengalaman hingga perasaan (baper).

Terkadang pula, persaingan yang amat tinggi ini harus melibatkan pihak ke-3 untuk menambah bumbu sensasi pemberita. Perang proxy pun tidak bisa dihindarkan.

Saya mengutip buku yang ditulis oleh Hans Joachim Morgenthau (1948) dalam buku yang berjudul “Politik Among Nation” – Politik Antar Bangsa.

Pada satu bagian, Morgenthau membahas “Political Realism” yang menekankan kata Skeptis berulang-ulang, berulang-ulang. Artinya dalam persaingan ditingkatan yang sangat tinggi ini kita tidak boleh mudah percaya pada siapapun. Kita kerap diajak menjadi orang yang peragu.

Dua hari yang lalu, Neymar begitu sumringah saat Cristiano Ronaldo berhasil meraih penghargaan Best FIFA Man’s award 2017 (Pemain terbaik dunia) ke-5nya. Komentar-komentar pujian Neymar ke Ronaldo pun mengikuti pemberitaan pasca CR7 naik ke podium award tahunan FIFA tersebut.

Wajah pesaing Ronaldo, Messi yang juga bekas rekan se-tim Neymar di Barcelona itu sedikit memadam. Seolah keberpihakan sahabat yang selama ini “dididik” telah pindah ke lain hati.

Bagi dunia olahraga, ini hal yang sebenarnya lumrah karena bagian dari sportifitas. Bagi pengamat, sensasi di tarik lebih dalam lagi dengan dengan bumbu-bumbu lebih beraroma.

“Neymar dan Ronaldo sama-sama lahir di tanggal 5 februari dan berzodiak Aquarius berkonspirasi merubuhkan dominasi Messi yang seorang yang berzodiak Leo, Ini playing Viktim” Tulis seorang pengamat Amatiran, sebut saja namanya Anwar Saragih.

DI Tingkat konspirasi yang lebih tinggi, persaingan dan pertarungan yang tinggi pula. Ada beberapa skenario yang harus dipahami. Pertama, bisa saja Messi mendidik Neymar untuk mengalahkan Ronaldo. Kedua, bisa saja Ronaldo menyarankan Neymar pindah dari Barcelona ke PSG agar Messi kehilangan kemampuan maksimalnya.

Ketiga, bisa saja Messi mendidik Neymar untuk menghapus nama Ronaldo dari sejarah namun di satu titik Neymar yang menyerang Messi.

Keempat, Bisa saja Neymar punya obsesi sendiri untuk mengalahkan Ronaldo dan Neymar untuk menjadi pemain terbaik dunia.

Pada contoh sederhana, begitulah cara kerja Perang Proxy yang kerap menggunakan pihak ketiga. Rasa skeptis ala Morghentau pun tidak bisa dihindari begitu saja.

Anggap saja Prabowo adalah Ronaldo, Jokowi adalah Messi dan Anies Baswedan adalah Neymar.

Saya kembali mengutip buku Politik Among Nation-nya Hans Morghentau : “Rakyat, yang tidak sadar dengan pemikiran Pemimpinnya, sering memikirkan kebaikan absolut dan kejahatan absolut dari sudut pandang moral dan hukum yang sederhana tanpa mengkonfirmasi kebenaran masing-masing”

Lalu jika cara kerjanya seperti ini, Anies di Pilpres 2014 adalah Tim Sukses Jokowi untuk mengalahkan Prabowo. Kini menjadi bagian dari Prabowo setelah Gerindra membawanya ke tahta Gubernur DKI Jakarta 2017-2022.

Kira-kita kemana Anies Baswedan akan memposisikan diri di Pilpres 2019 nanti atau Haruskah Anies seperti Neymar yang memilih PSG untuk mampu menjadi bagian dari persaingan Prabowo dan Jokowi.

Tidak usah diperdebatkan, nikmati sajalah…

================
Penulis: Anwar Saragi | Editor Medan Today juga merupakan Dosen Luar Biasa Ilmu Politik USU