Apa yang tersisa dari sebuah momentum politik pemilihan umum, entah itu Pileg, Pilpres atau pilkada? jawabnya adalah harapan. Harapan yang di rekam dengan ragam materai diatas tumpukan kertas janji-janji politik, yang disepakati bersama pelbagai kelompok masyarakat.

Entah itu kelompok petani, nelayan, buruh, kaum miskin kota hingga kelompok ormas keagamaan. Semuanya diwujudkan bila pemenang masih merawatnya dalam ingatan dan punya keberanian mengimplementasikannya.

Seusai pemilu, janji politik ini ditagih layaknya hutang yang harus dibayar secepatnya. Pelbagai tenggat waktu oleh pendukung tersebut dengan pelbagai deadline, pemerintahan 30 hari, pemerintahan 100 hari, pemerintahan 1 tahun atau pemerintahan 3 tahun.

Bisa saja, sampai berakhirnya jabatan politik, “janji-janji surga” tersebut tidak juga diimplementasikan dalam sebuah kebijakan.

Yang paling parah, berbagai janji politik seiring berjalannya waktu hanya dianggap sebagai agunan dalam pertarungan politik diungkapkan dengan cara yang tidak logis. Malah dipercaya oleh banyak orang.

“Jelang Pilpres tahun 2014, salah satu politisi PAN, pendukung Prabowo, Amien Rais pernah bernazar akan jalan kaki dari Yogyakarta ke Jakarta bila Jokowi terpilih menjadi Presiden”. Kenyataannya 3 tahun Jokowi menjabat Presiden Amien Rais belum juga jalan jalan, tepati janjinya.

“Pada tahun 2012 yang lalu, Anas Urbaningrum pernah berucap, jika dirinya korupsi satu rupiah saja, gantung dirinya (Anas) di Monas” – 5 tahun setelah janji itu dan 3 tahun setelah putusan sidang penjara 14 Tahun, Bayar Rp 57 M, dan Hak Dipilih Dicabut, janji itu tidak kunjung diwujudkan.

“Ketika Jokowi mencalonkan diri menjadi presiden pada Pilpres 2014 yang lalu adalah penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu” – Kepercayaan pada Jokowi, membuat penggiat HAM beramai-ramai mendukung Jokowi. Apalagi, saat itu Jokowi bertarung dengan orang yang disebut sebagai “pelanggar HAM”.

Namun, 3 tahun memerintah janji politik Jokowi itu tidak juga diwujudkan, acara Kamisan di depan Istana menuntut keadilan dan penyelesaian kasus HAM masih setia menunggu.

“Paling terbaru, adalah Janji politik Anies Baswedan dan Sandiaga Uno di Pilgub 2017 yang lalu. Anies-Sandi berjanji jika terpilih akan menetapkan gaji 7 juta perbulan untuk buruh Jakarta”

Beberapa minggu menjabat Gubernur/Wakil, Anies-Sandi malah menetapkan UMP DKI Jakarta 2018 sebesar Rp Rp 3.648.035. Mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan beberapa undang-undang lainnya yang menjadi acuan.

Merasa dibohongi karena telah menandatangani kontrak politik, Massa buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) DKI Jakarta melakukan demonstrasi depan kantor Balai Kota Jakarta pada 9 November 2017 lalu.

Di luar fakta-fakta tersebut, sebenarnya masih banyak janji politik para politisi yang hanya tinggal sekadar janji. Pelbagai kekecewaan pun larut mengikuti orang-orang yang berharap atas janji-janji politik itu.

Satu hari bisa menjadi satu windu bahkan satu abad untuk mereka yang menunggu sebuah sebuah ketidakpastian janji-janji itu. Bisa saja, bagi orang-orang tersebut, itu adalah harapan terakhir dirinya.

Lebih jauh, banyak pula orang berharap sebuah janji politik segera diwujudkan sebagai konsekuensi atas kekecewaan panjang pada politisi gagal atau politisi yabg terlibat dalam daftar hitam korupsi.

Janji politik selalu hadir, Ia selalu memberi harapan untuk rakyat yang membutuhkannya. Walau tidak pernah berakhir manis dengan sempurna.

Namun, sampai hari ini, kita tidak menyadari Janji politik adalah janji yang tidak selalu bisa ditagih.

Sebab, janji politik hanya berkaitan dengan pertaruhan Moral. Moral selalu bicara baik dan buruk, yang membutuhkan konsistensi.

Jika demikian adanya, apa anda masih percaya dengan janji-janji politik, kawan..?

============
Penulis: Anwar Saragih | Editor Medan Today juga merupakan Dosen Luar Biasa Ilmu Politik USU