ilustrasi pengadilan. Merdeka.com

medanToday.com, JAKARTA – Towilun, petambak udang, menyesali perjanjian kerjasamanya kredit dengan PT Dipasena Citra Darmaji (DCD) lantaran tidak ada transparansi. Bahkan dia mengatakan, perusahaan itu memperlakukan petambak bak sapi perah.

Towilun meluapkan kekesalannya di hadapan Syafruddin Arsyad Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dia merasa tak tahan dengan perlakuan PT DCD selama ini.

“Kami sampaikan kerjasama sudah tidak baik lagi karena seperti sapi perah atau bebek petelor,” ujar Towilun saat memberikan keterangan sebagai saksi untuk terdakwa Syafruddin di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (26/7).

Dia bercerita, awal mula masuk ke PT DCD pada Februari tahun 1995, hingga akhirnya proses akad tanda tangan perjanjian kredit sebesar Rp 135 juta terjadi pada November 1995 dengan rincian Rp 90 juta investasi tempat tinggal petambak, Rp 45 juta untuk modal budidaya tambak. Setelah akad terealisasi, Towilun tinggal di bangunan berdinding asbes berukuran luas 5 x 7 meter.

Selama bekerja ditambak, dia beberapa kali mempertanyakan kejelasan kredit yang telah dilunasi oleh petambak. Ia merasa kredit yang diperoleh dari PT DCD telah lunas. Namun selama dia berkecimpung di tambak, tidak pernah sepeserpun mendapat bayaran dari perusahaan. Sementara, hasil panen udang selalu disetorkan ke perusahaan.

Dia mengaku mendapat intimidasi dari perusahaan jika petambak menjual hasil udangnya di luar dari tempat yang ditentukan PT DCD.

“Kalau kami tanya gimana kelanjutan kredit kami selalu dijawab perusahaan kami masih mau kerja gak? Kalau berani jual di luar pasti di penjara,” ujarnya.

Jaksa kemudian menanyakan kaitan BDNI dengan PT DCD. Namun Towilun tidak mengetahui kaitan dua perusahaan tersebut. Hanya saja, kata Towilun, saat melakukan akad kredit pihak perbankan adalah BDNI.

“Tahu tidak BDNI kaitannya apa dengan PT DCD?” tanya jaksa.

“Tidak tahu. Tapi kami akad kredit nya dengan BDNI,” jawab Towilun.

“Kalau DCD tahu punya siapa?” konfirmasi jaksa.

“Punya Pak Sjamsul Nursalim,” jawabnya.

“Tahu darimana?” tanya jaksa.

“Waktu kami demo-demo itu Pak Sjamsul yang nanggepin. Jadi ya kayaknya punya dia,” jelasnya.

Diketahui saat krisis melanda Indonesia, sejumlah bank mengalami gonjang-ganjing akibat penarikan uang oleh nasabah secara serentak. Agar tidak menimbulkan kerugian berkelanjutan, negara menggelontorkan BLBI kepada sejumlah obligor dengan total keseluruhan Rp 144 triliun, BDNI termasuk di dalamnya.

Seiring berjalannya waktu, BDNI dengan kepemilikan saham terbesar adalah Sjamsul Nursalim dianggap misrepresentatif karena membebankan piutang ke PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wachyuni Mandira yang tidak mampu menyelesaikan kewajiban utang.

Sjamsul pun diwajibkan bertanggung jawab membayar Rp 4,58 sebagaimana aset yang dilimpahkan BDNI ke perusahaan tambak tersebut. Namun, belum selesai Sjamsul menyelesaikan kewajibannya, Syafruddin menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap BDNI.

Ia pun didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (mtd/min)

 

===============================