medanToday.com – Data tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga kuartal III 2017 sebesar 4,93 persen dianggap mengalami perlambatan dibanding data kuartal II 2017 sebesar 4,95 persen. Belakangan, perlambatan tingkat konsumsi ini kerap diartikan dengan menurunnya daya beli masyarakat.

Badan Pusat Statistik ( BPS) selaku yang mengeluarkan data tersebut menjelaskan, perlambatan tingkat konsumsi bukan berarti daya beli masyarakat otomatis menurun.

Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Sri Soelistyowati mengungkapkan, pandangan seperti itu merupakan hal yang keliru karena langsung mengartikan tanpa mempertimbangkan kemungkinan lain.

“Daya beli kan kemampuan untuk membeli, berbeda dengan konsumsi. Kita mungkin mau consume, kita mampu membeli, tapi tidak mau membeli, kita tidak pengin konsumsi, itu kan bukan berarti daya belinya turun,” kata Sri saat menjadi pembicara dalam Workshop Peningkatan Wawasan Statistik di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (9/12/2017).

Sri mengumpamakan, jika seseorang punya uang lebih dan memilih untuk berinvestasi ketimbang membeli sesuatu, maka tidak bisa dibilang daya beli orang tersebut turun. Orang dengan kemampuan finansial tertentu masih punya daya beli, tetapi karena uang tidak digunakan untuk konsumsi, maka tingkat konsumsinya saja yang turun, bukan daya belinya.

“Kalau yang dikaitkan di daya beli hanya yang dikonsumsi kan berarti seolah-olah orang yang tidak membeli, saya punya duit mau ditabung, kok dianggap tidak punya daya beli,” tutur Sri.

Hal ini dianggap perlu dijelaskan agar tidak terjadi interpretasi data yang keliru di masyarakat. Meski begitu, bisa juga melemahnya tingkat konsumsi memengaruhi daya beli jika suatu data ditelaah lebih lanjut dan diuji, apakah benar ada pengaruh atau tidak.

(mtd/min)