medanToday.com,JAKARTA – Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang ( Jatam) Merah Johansyah meminta Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Agus Rahardjo segera mengumumkan penetapan tersangka peserta Pilkada Serentak 2018.

Merah menilai, jika KPK tak segera mengumumkan tersangka, justru banyak pihak akan melihat lembaga antirasuah itu berpolitik dan mengesampingkan proses penegakan hukum.

Pasalnya, pada Senin (12/3/2018) lalu, Agus mengatakan bahwa pekan ini KPK akan memberikan pengumuman siapa saja peserta pilkada 2018 yang menjadi tersangka.

“KPK harus membuktikan apa yang pernah diungkapkannya ke publik agar jadi bukti bahwa KPK menjunjung tinggi proses penegakan hukum ketimbang proses politik,” ujarnya.

“Kalau tidak segera diumumkan, KPK malah bisa dianggap berpolitik,” ucapnya.

Selain itu, Merah juga meminta KPK tak perlu menggubris imbauan pemerintah agar menunda proses hukum peserta pilkada.

Menurut dia, KPK harus tetap teguh pada pendiriannya dengan memisahkan antara proses penegakan hukum dan proses politik.

“Tidak usah gubris pernyataan Wiranto, termasuk Jaksa Agung HM Prasetyo dan Kapolri Tito Karnavian yang telah menunda memproses hukum atas kasus yang terkait dengan pasangan calon kepala daerah di Pilkada 2018,” kata Merah.

Merah mengatakan, langkah KPK yang hendak mengumumkan daftar calon kepala daerah yang diduga terlibat korupsi patut didukung. Dengan demikian, para pemilih tidak salah memilih calonnya dalam Pilkada Serentak 2018.

Langkah KPK itu, kata Merah, mesti dilihat sebagai upaya untuk memotong rantai korupsi yang lebih besar, yakni menyelamatkan kekayaan alam dan ruang hidup rakyat, yang berpotensi menjadi sektor utama yang akan digadai di kemudian hari, ketika para calon kepala daerah ini terpilih.

“Hal ini beralasan mengingat korupsi di sektor sumber daya alam, terutama terkait pertambangan, selalu menjadi sumber korupsi selama ini guna memenuhi kebutuhan biaya kampanye dalam pilkada serentak,” ucap dia.

Berdasarkan catatan Jatam, tren penerbitan izin tambang naik drastis pada saat Pilkada Serentak 2017 dan 2018.

Terdapat 170 izin tambang yang dikeluarkan sepanjang 2017 dan 2018, dengan rincian 34 izin tambang di Jawa Barat yang terbit pada 13 Februari 2018, dua pekan sebelum masa penetapan calon kepala daerah Jabar diumumkan.

Di Jawa Tengah, pada 30 Januari 2018 lalu, pemerintah setempat tercatat mengobral 120 izin tambang. Demikian juga di Kalimantan Timur di mana terdapat 6 titik pertambangan batubara ilegal yang tidak dilakukan penegakan hukum.

“Semua ini kami duga terkait pembiayaan politik pilkada bagi para kandidat,” ujarnya.

Bahkan, modus lain yang patut ditelusuri KPK adalah terkait ribuan izin tambang yang habis masa berlaku, tetapi izinnya tidak dicabut. Terdapat 1.682 dari 3.078 atau 60 persen dari Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang habis masa berlaku dan tersebar di 17 provinsi yang menggelar Pilkada Serentak 2018 berpotensi menjadi sumber keuangan bagi kandidat tertentu, terutama para petahana.

Jatam menemukan 7.180 IUP atau 82,4 persen dari total 8.710 IUP di Indonesia berada di 171 wilayah yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2018.

Sebanyak 4.290 IUP berada di 17 Provinsi Pilkada atau 49,2 persen dari seluruh IUP di Indonesia. Ribuan izin tambang ini berpotensi menjadi sumber pembiayaan politik bagi para kandidat pada Pilkada Serentak 2018.

Menurut Merah, perusahaan tambang dan kandidat sama-sama memiliki kepentingan. Kandidat berkepentingan untuk mendapatkan biaya, sementara perusahaan tambang berkepentingan untuk mendapat jaminan politik dan keamanan dalam melanjutkan bisnisnya di daerah.

“Oleh karena itu, langkah KPK untuk segera mengumumkan calon kepala daerah yang terindikasi korupsi tersebut mendesak dilakukan,” tuturnya.(mtd/min)

=====================