medanToday.com, BANYUWANGI – Martina Puspita (25), perempuan berhijab biru terlihat mengarahkan sejumlah siswa yang turun dari bus untuk menuju aula Griya Ekologi Kelir Banyuwangi, Jumat (19/1/2017).

Mereka adalah para siswa SMA Katolik se-Yayasan Karmel, Jawa Timur, yang sedang berwisata ke Banyuwangi.

Griya Ekologi Kelir Banyuwangi adalah milik SMA Katolik Hikmah Mandala tempat Martina Puspita mengajar. Di sekolah milik Yayasan Karmel Keuskupan Malang tersebut, Martina mengajar sebagai guru bahasa Indonesia.

“Sejak pertama kali mengajar di SMA Katolik tahun 2015 saya sudah menggunakan jilbab. Alhamdulih tidak pernah ada masalah. Syaratnya yang penting rapi,” kata Martina kepada Kompas.com, Jumat (19/12/2018) sambil tersenyum.

SMA Katolik Hikmah Mandala bukan tempat baru bagi perempuan kelahiran Banyuwangi, 31 Januari 1993, karena Martina menyelesaikan pendidikan sejak TK hingga SMA di sekolah Katolik yang berada di jalan Jaksa Agung Suprapto, Banyuwangi.

Kepada Kompas.com, Martina mengaku lahir dari keluarga yang berlatar belakang Islam, dan ayahnya, Sumarto, selama puluhan tahun bekerja sebagai sopir keuskupan Malang yang ada di Banyuwangi. Karena kedekatan itulah, maka ayahnya menyekolahkan Martina di sekolah katolik tersebut.

“Ayah menjadi sopir keuskupan lebih dari 25 tahun. Jadi sekalian sekolahnya. Ayah saya Islam, ibu saya Islam, semua keluarga besar juga Islam. Dan, ini tidak menjadi masalah bagi kami. Ayah banyak mengajarkan tentang toleransi dan beliau adalah orang yang sangat taat sekali beribadah. Sekarang sudah pensiun,” kata Martina.

Lulus SMA tahun 2011, Martina kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Jember Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia. Semua biaya kuliah ditanggung secara pribadi oleh Romo Tiburtius Catur Wibawa, kepala SMA Katolik Hikmah Mandala.

Saat semester tiga, Martina kemudian memutuskan menggunakan hijab, dan pada tahun 2015 saat menyelesaikan skripsi, Martina diminta untuk membantu mengajar di SMA Katolik Hikmah Mandala.

“Saat itu saya bilang Romo Catur saya menggunakan jilbab. Lalu romo bilang ya nggak apa-apa. Ngajar saja, yang penting jilbabnya rapi. Dan, saya akhirnya pulang kembali ke almamater saya untuk mengajar dan wisuda tahun 2016,” jelasnya.

Walaupun mengajar dengan mengenakan hijab di sekolah Katolik, Martina mengaku tidak pernah mendapatkan diskriminasi, bahkan dia juga bebas beribadah. “Ada ruang pribadi yang diizinkan untuk saya shalat,” jelasnya.

Diskriminasi malah dirasakan Martina saat duduk di bangku kuliah karena beberapa rekannya menjaga jarak saat tahu dia lulusan sekolah katolik dan tidak menggunakan jilbab. Bahkan sebagian besar rekannya di kampus mengira Martina tidak beragam Islam.

“Ketika kuliah saya malah merasa menjadi minoritas di rekan-rekan saya yang beragama Islam hanya karena saya tidak berhijab. Sempat sedih,” jelasnya.

(mtd/min)