medanToday.com – SAAT saya menulis kolom ini, lebih dari 120.000 warga Rohingya yang paling teraniaya di dunia telah melarikan diri dari negara bagianRakhine, Myanmar Barat.

Berbagai kecaman dari segala penjuru dunia mengalir deras ke Pemerintah Myanmar terutama kepada State Counsellor, sang pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi.

Kelompok minoritas Myanmar termasuk etnis Shan, Karen, Kachin dan Muslim telah lama menghadapi permasalahan. Padahal beberapa dari mereka terkadang memiliki hubungan darah dengan kelompok mayoritas dominan Myanmar, etnis Burma atau “Bama” yang tinggal di kawasan utama Delta Irrawaddy.

Tak hanya itu, umat Muslim juga telah lama menjadi bagian integral kehidupan masyarakat Myanmar. Beberapa penguasa sejak berabad-abad lalu, termasuk Raja Mindon, telah mendorong pembangunan tempat tinggal untuk umat Muslim dan juga masjid-masjid.

Mereka melihat masyarakat adalah sumber daya penting bagi aktivitas perdagangan dan pencarian penghasilan.

Namun, kekalahan dinasti Konbaung (dinasti terakhir Myanmar) dari Inggris telah mengakibatkan perasaan yang menyakitkan bagi orang-orang Myanmar hingga menumbuhkan xenophobia yang sangat mendalam.

Tidak seperti di Malaysia dan Indonesia, penguasa kolonial dapat memilih untuk menjalankan pemerintahannya melalui para Sultan daerah itu. Namun di Myanmar, pemerintahannya benar-benar dikendalikan oleh Inggris yang dikontrol dari Calcutta dan kemudian Delhi.

Myanmar juga merupakan wilayah komersial yang sangat berharga. Kayu, batu mulia, dan minyak bumi telah berhasil menarik investasi asing dan tenaga kerja yang membuat pemerintahan Myanmar bangga.

Selain itu, para pedagang serta rentenir dari komunitas Marwari dan Chettiar, India, menyadari bahwa Myanmar memiliki potensi besar untuk menghasilkan beras. Sehingga akhirnya, Myanmar dalam hitungan tahun berubah menjadi negara pengekspor beras.

Untuk memangkas biaya produksi, para pengusaha yang sama mengimpor tenaga kerja dari wilayah Bengal. Sukses menekan upah, tapi hal itu mengakibatkan petani lokal tergusur.

Saat Perang Dunia II, hampir setengah dari populasi penduduk Rangoon (Yangon) adalah orang India.

Kebencian mendalam lalu muncul dari orang asli Myanmar yang melihat para pendatang baru, yang sebagian besar umat Muslim, sebagai sekelompok penyusup.

Situasi ini memicu kerusuhan anti-imigran di Rangoon. Perang Dunia II dan berbagai aksi kekerasan memaksa jutaan orang India untuk meninggalkan Rangoon. Namun, masih banyak juga yang tersisa.

Bagi jutaan umat Islam Myanmar saat ini, kekerasan di Rakhine sangatlah menakutkan. Yang menarik adalah berdasarkan data resmi pemerintah, kelompok minoritas Muslim hanya mewakili 3-4 persen dari jumlah populasi penduduk Myanmar. Namun, menurut data dari LSM, jumlahnya hampir 12-13 persen.

Apa pun itu, kelompok minoritas Muslim yang sangat terlihat keberadaannya dan padat di pusat kota Yangon, ternyata juga tersebar di daerah-daerah pedalaman dengan bangunan-bangunan masjidnya di kota-kota kecil seperti di Bago, Mawlamyine, dan Meiktila.

Jadi, meski perhatian dunia saat ini terfokus pada situasi di Rakhine, namun penting untuk dipahami bahwa tidak semua Muslim di Myanmar adalah Rohingya, walaupun situasinya kadang-kadang sama buruknya.

Banyak yang mengeluh tentang adanya diskriminasi secara formal dan informal, termasuk penggunaan istilah “kalar” yang biasa digunakan warga non-Muslim Myanmar untuk menghina umat Muslim di Myanmar.

Mengamati perkembangan yang terjadi belakangan ini, saya lalu menghubungi teman-teman Muslim Myanmar saya untuk mengetahui pandangan mereka tentang hal ini. Untuk melindungi mereka, saya telah mengganti nama mereka dalam tulisan ini.

Pembaca kolom saya tentu sudah familiar dengan nama U Tin Win, seorang Muslim Myanmar berusia 71 tahun yang merupakan mantan supir truk dan perjuangannya untuk mendapatkan surat-surat identitas resmi untuk cucunya.

Saat U Tin Win dihubungi, ternyata masalahnya masih belum terselesaikan. “Bahkan paman saya yang bekerja sebagai pegawai bea cukai pun tidak bisa mendapatkan kartu identitas,” tutur dia menceritakan pamannya yang kehilangan kartu identitasnya.

“Meskipun dia memiliki semua dokumen yang diperlukan, tetap saja dia sulit mendapatkan kembali kartu identitasnya karena dia seorang Muslim,” kata U Tin Win.

(MTD/MIN)