Pekerja melakukan pengerjaan proyek pembangunan Light Rapid Transit (LRT) di ruas Jalan Rasuna Said, Jakarta, Selasa (19/09). Direktur Keuangan Adhi Karya Haris Gunawan mengatakan, Peraturan Presiden (Perpres) No 49 tahun 2017 mengenai percepatan penyelenggaraan LRT yang terintegrasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jabodebek) telah diterbitkan. Pembangunan LRT sendiri secara keseluruhan sudah mencapai 15%. KONTAN/Fransiskus Simbolon/19/09/2017

medanToday.com – Sejak awal kabinet berjalan, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menggenjot pembangunan infrastruktur untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah.

Namun demikian, dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi selama infrastruktur itu dibangun belum terasa.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menujukkan, indeks upah riil kelompok bawah kecuali upah buruh potong rambut menurun bila dibandingkan dengan tahun 2014. Dengan demikian, timbul pertanyaan bahwa mengapa infrastruktur dibangun, upah riil justru turun?

Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, hal ini bisa dikaitkan dengan penyerapan tenaga kerja infrastruktur yang turun 230.000 orang per Agustus 2016 atau 2,80% dibandingkan periode yang sama pada 2015. Dengan demikian tesis bahwa pembangunan infrastruktur bisa mendorong pertumbuhan ekonomi belum terbukti.

Hal ini menurutnya lantaran ada konsep pembangunan infrastruktur yang salah. Padahal, penyerapan tenaga kerja dengan adanya proyek infrastruktur idealnya terus meningkat. “Konsep pembangunanya yang kurang pas. Proyek dikuasai kontraktor besar alias Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kemudian lebih ke padat modal daripada padat karya,” katanya kepada KONTAN, Sabtu (23/9).

Bhima mengatakan, trickle down effect proyek infrastruktur diragukan bisa menetes ke bawah. Pasalnya, mengutip keterangan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), proyek infrastruktur pemerintah hanya dilakukan oleh kontraktor besar sehingga penguasaannya mencapai 87%. Sementara kontraktor lokal kecil hanya kebagian 6% dari total proyek.

Adapun Bhima melihat, mayoritas proyek konstruksi pemerintah sejak 2015 kebanyakan adalah berupa proyek jalan tol, di mana komposisi skilled labor-nya berbeda dari proyek properti, seperti gedung. “Jumlah tenaga yang dibutuhkan lebih sedikit. Teknologi konstruksi juga makin canggih. Buat jalan tol seperti puzzle, tinggal pasang,” kata Bhima.

Oleh karena itu, meskipun infrastruktur bermanfaat dalam jangka panjang, menurut Bhima, sebaiknya pemerintah mengukur kembali kemampuan anggaran maupun kesiapan teknisnya. Selain itu, ketimpangan antara kontraktor besar dan kecil harus segera diselesaikan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

“Pemerintah tarik utang. Kemudian masuk ke BUMN. Nanti BUMN bayar dividen ke pemerintah. Jadi lingkaran uang dan likuiditas hanya berputar di pemerintah. Swastanya pusing,” jelas Bhima.

Soal anggaran infrastruktur, Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi juga mengatakan, pengalokasian dana pada APBN yang terlalu berat di infrastruktur juga berisiko menimbulkan masalah pada pos-pos lain. “Apalagi jika pos-pos ini berkaitan dengan daya beli masyarakat, misalnya pos subsidi energi. Akan lebih bermasalah jika keinginan pemerintah untuk genjot pembangunan infrastruktur ini tidak didukung dari sisi penerimaan,” ujarnya.

Sementara Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono mengatakan, ada time lag agak panjang untuk merasakan efek dari pembangunan infrastruktur, setidaknya tiga hingga lima tahun ke depan. Namun, ketika pembangunan infrastruktur sudah memberi hasil, belum tentu pula pertumbuhan ekonomi bisa ngebut.

“Ngebut juga mungkin tidak, karena pembangunan infrastruktur kita kan juga terbatas dananya. Idealnya, biaya membangun infrastruktur kan 5% terhadap PDB. Kita masih 3% sampai 3,5%,” ujar dia.

(MTD/MIN)