medanToday.com,SURABAYA – Satu kemajuan di bidang politik pasca reformasi 1998 adalah pelaksanaan desentralisasi di tingkatan lokal dalam wujud otonomi daerah. Pelaksanaannya kemudian diikuti oleh pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2005 yang lalu.

Demokratisasi politik di ranah lokal tersebut kemudian membuat persaingan memperebutkan kekuasaan politik menjadi semakin kuat. Mobilisasi jaringan kekerabatan, etnis, keagamaan hingga birokrasi melalui Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) kemudian diciptakan untuk memenangkan persaingan politik tersebut dengan pemanfaatan jaringan ASN itu sendiri.

Mesin-mesin politik melalui Jaringan ASN bergerak secara progresif untuk menembuskan ambisi politik masing-masing calon kandidat kepala daerah, terutama untuk para calon Petahana (incumbent).

Posisi strategis di lingkungan birokrasi yang memang memiliki keunggulan dalam memobilisasi massa dan memanfaatkan setiap fasilitas. Khususnya keterlibatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mulai dari Sekretaris Daerah (Sekda), Kepala Dinas (Kadis), Camat dan Lurah tidak jarang kepala-kepala sekolah negeri dilingkungan kabupaten maupun kota dalam mendukung seorang pasangan calon kepala daerah.

Hal tersebut dipaparkan, Editor medanToday.com Anwar Saragih pada seminar Jurnal Bawaslu bertemakan Pemilu Berintegritas di Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 11-12 Desember 2017.

Anwar Saragih, yang juga Dosen di Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang memaparkan papernya berjudul: “Proyeksi Mewujudkan Pemilu Berintegritas Lewat Netralitas Aparatur Sipil Negara di Pilkada Serentak 2018”

Dalam paparannya, Anwar mengatakan pada pilkada serentak di Sumut, hampir seluruh petahana menggerakkan ASN dalam politik praktis.

“Pada Pilkada serentak 23 kabupaten/kota yang diselenggarakan di Sumatera Utara pada 2015 dan 2017 yang lalu, hampir seluruh Petahana menggerakkan ASN dalam politik praktis.” ungkapnya.

Pada tahun 2015,lanjut Anwar ada 261 kasus ASN yang terlibat politik praktis di Sumut.  “Pada 2015 yang lalu setidaknya terdapat 261 kasus ASN yang terlibat politik praktis di Sumatera Utara seperti di ASN di lingkungan Pemko Medan, Pemkab Simalungun, Pemkab Samosir, Pemko Siantar dan Pemkab Karo. Sementara di Pilkada serentak 2017 yang lalu terdapat 43 kasus”. ucap Anwar.

Anwar Saragih menjelaskan bahwa, fenomena penyalagunaan keterlibatan PNS dalam politik digerakkan atas pengaruh dan instruksi calon petahana. Pada Kondisi tertekan PNS akan melaksanakan apa yang di intruksikan oleh atasan, sebab secara struktur di birokrasi SKPD memiliki Hirearki dari atas kebawahan.

Motifnya adalah ASN tersebut ingin memperoleh promosi jabatan dengan cepat dan praktis dengan harus loyal kepada calon petahana jika ingin menduduki jabatan penting di pemerintahan. Jika dianggap tidak loyal maka, karirnya selama 5 tahun kedepan terancam.

“Undang-undang nomor 5 tahun 2014 telah mengamatkan agar PNS tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis, baik itu menjadi anggota partai politik atau menjadi bagian dari tim pemenangan kepala daerah saat pemilu atau pilkada berlangsung. Selama ini secara regulasi, pengawasan dititik beratkan kepada Badan pangawas Pemilu atau Bawaslu dalam mengontrol setiap kegiatan pelanggaran pilkada. Namun, jika hanya membiarkan kontrol mencegah PNS hanya berada di pundak Bawaslu tentu tidak akan efektif”.kata Anwar.

Pada akhir pemaparan Anwar mengatakan Partisipasi politik masyarakat dalam mengawasi setiap ASN ketika pilkada berlangsung sangat diperlukan dalam hal pengawasan. Masyarakat dalam fungsi pengawasan ini bagian terpenting penting untuk memperhatikan setiap PNS yang terlibat dalam politik praktis. Tidak hanya itu, bangsa ini perlu reguasi baru dalam promosi jabatan untuk PNS untuk menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan daerah.

Lebih lanjut, pemerintah melalui DPR harus pula membentuk sebuah kelembagaan sifatnya kolaboratif dalam mengakomodir semua kepentingan terkait kesuksesan pilkada serentak tahun 2018 yang berintegritas dan bermartabat. Melalui para pemangku kepentingan seperti partai politik, tim sukses, KPUD, Bawaslu, Media, NGO, akademisi dan masyarakat dalam pengawasan satu payung hukum dalam mengawasi setiap gerak langkah PNS ketika pilkada berlangsung.

“Jika memang tidak bisa netral juga juga paling progresif adalah Hak Pilih PNS dalam pemilihan baik itu Pemilu maupun Pilkada harus di Cabut layaknya TNI dan Polri” kata Anwar menutup.(mtd/yog)

==================