medanToday.com – INI catatan yang tidak lazim tentang Natal. Ini bukan catatan tentang kandang domba, orang Majus dari Timur, Tuhan yang turun ke dunia, juga bukan tentang makna keselamatan Tuhan pada manusia.

Ini hanya catatan kecil seorang pejalan hina dina yang termenung mencari “jalan pulang” di tengah gelapnya malam yang bertaburan bintang-bintang.

Apa artinya Natal yang dirayakan setiap tahun? Alur tulisan ini bakal melenceng dari apa yang Anda bayangkan tentang Natal.

Banyak yang bicara soal makna kelahiran Yesus di dunia. Barangkali hanya sedikit yang bertanya tentang apa makna kelahiran kita di dunia.

Natal Yesus

Secara defacto, Natal tentu saja bukan hari-H kelahiran Yesus. Kapan persisnya Yesus lahir tidak ada yang tahu. Kitab Suci tidak mencatatnya.

Kitab Suci agama Kristen ditulis jauh setelah Yesus wafat. Sebelumnya, ajaran Yesus diturunkan diam-diam dalam tradisi lisan.

Selain itu, di masa-masa awal kekristenan, perayaan hari lahir bukan sebuah kelaziman. Jadi, tidak ada yang berkepentingan mencari tanggal persis kelahiran Yesus.

Tradisi perayaan hari kelahiran Yesus dimulai di era Kaisar Konstantinus di abad ke-4 Masehi ketika Kristen resmi menjadi agama kerajaan Romawi.

Lantas, kalau tidak pernah ada yang tahu kapan persisnya Yesus lahir, kenapa hari kelahirannya dirayakan pada tanggal 25 Desember menurut kalender Masehi?

Tanggal 25 Desember adalah simbol. Ada sejumlah versi tentang kenapa dipilih tanggal itu.

Yang paling populer adalah tanggal itu sebenarnya merupakan tanggal perayaan masyarakat non-Kristiani atas Dewa Matahari. Matahari dipuja sebagai solar invicti, surya yang tak terkalahkan.

Kekristenan kemudian “mengakuisisi” tanggal itu dan menempatkan Yesus sebagai pusat perayaan. Jauh mengatasi Mahatari, Yesus adalah yang tak terkalahkan. Ia menaklukkan kematian dan bangkit di hari ketiga setelah wafat di kayu salib.

Siklus

Semenjak itu, Natal kita rayakan setiap tahun. Natal berasal dari bahasa latin yang artinya lahir. Maka, secara umum natal bisa dimengerti sebagia kelahiran. Kita sering mendengar istilah dies natalis, artinya hari lahir.

Setiap tahun kita tidak hanya merayakan hari kelahiran Yesus, tapi juga hari kelahiran kita. Lantas, apa artinya Natal yang dirayakan setiap tahun?

Nah, ini yang menarik buat saya tentang Natal: perayaan yang kita rayakan setiap tahun menyiratkan bahwa kita hidup di dalam sebuah sistem semesta yang berbentuk siklus. Pada periode waktu tertentu kita akan bertemu kembali pada satu titik waktu yang sama.

Itulah kenapa kita selalu merayakan hari ulang tahun pada satu periode waktu satu tahun.

Semua bentuk kalender, apakah kalender Masehi, Hijriyah, Saka, Jawa, China, bahkan kalender suku bangsa Maya, sesungguhnya berpusat pada sebuah sistem siklus yang berulang dari waktu ke waktu.

Bumi berotasi pada sumbunya adalah sebuah siklus. Bumi mengitari Matahari juga sebuah siklus. Tata bintang dan planet-planet bergerak dalam sebuah siklus waktu.

Siklus itu bergerak teratur dalam sebuah tertib hukum yang sedemikian rupa sehingga tidak ada kekacauan.

Begitu kagumnya Albert Einstein pada tata hukum semesta sampai-sampai ia berujar bahwa Tuhan tidak sedang bermain dadu. Yang ingin dikatakan Einstein adalah bahwa semesta ini bergerak dalam sebuah sistem padu yang menciptakan keteraturan.

Periodisasi waktu yang kita kenal saat ini sesungguhnya adalah adalah sebuah siklus berlapis. Siklus kecil dibungkus oleh siklus yang lebih besar.

Periodisasi waktu terkecil adalah detik. Periodisasi detik yang berulang dibungkus oleh menit, lalu jam, dan hari. Siklus hari merupakan periodisasi sederhana rotasi bumi.

Hari lalu dibungkus bulan. Bulan dibungkus tahun. Satu tahun dalam kalender Masehi adalah periodisasi waktu bagi Bumi mengelilingi Matahari. Oleh karena itu, sistem kalender Masehi disebut sebagai sistem kalender Matahari.

Berbeda dengan kalender Masehi, sistem penanggalan lain seperti Hijriyah mendasarkan penghitungan waktu pada periodisasi edar Bulan mengelilingi Bumi.

Lantas, apa yang membungkus siklus tahun? Kalender Masehi tidak memberi perhatian pada siklus yang lebih besar di luar Bumi mengelilingi Matahari.

Namun, itu bukan berarti siklus yang lebih besar dari revolusi Bumi tidak ada.

Periodisasi waktu yang dibuat oleh bangsa Babilonia di kisaran tahun 626 SM–539 SM mengidentifikasi siklus yang lebih besar yaitu konstelasi bintang yang mengitari Matahari.

Bangsa Babilonia mengamati konstelasi bintang-bintang yang dilewati Matahari pada satu periodisasi tetap di garis ekliptikanya atau garis edarnya.

Mereka membuat garis imajiner dan membagi konstelasi bintang-bintang itu menjadi 12 area yang kita kenal dengan zodiak: Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagitarius, Capriconus, Aquarius, dan pisces.

Jadi, ada 12 konstelasi bintang yang dilewati Matahari pada satu periode masa edarnya. Di sekeliling Matahari, ada siklus yang lebih besar.

Selanjutnya, adakah siklus yang lebih besar dari zodiak? Ilmu pengetahuan kita saat ini belum memberi perhatian pada siklus kosmologi yang lebih besar.

Dengan luas alam semesta yang tak terjangkau oleh ilmu pengetahuan saat ini, di luar konstelasi 12 zodiak semestinya juga ada siklus-siklus astronomi yang lebih besar.

Tradisi Hindu kuno mencatat sebuah siklus yang amat besar yang disebut yuga. Dalam kosmologi Hindu satu situs besar yang disebut mahayuga berlangsung selama 4,3 juta tahun kalender Masehi.

Satu siklus mahayuga tersebut terdiri dari empat zaman yaitu krtayuga, trtayuga, dwaparayuga, dan kaliyuga. Empat zaman itu juga kerap disebut sebagai zaman emas, perak, perunggu, dan besi.

Di Bumi

Tidak hanya benda-benda langit yang berada dalam sistem siklus. Bumi dan segala isinya yang bisa kita amati juga berada dalam sistem ini.

Tidakkah Anda tertarik merenungi tentang air yang notabene merupakan elemen terbesar tubuh manusia? Lebih dari 60 persen tubuh manusia adalah air. Tanpa air, manusia pasti mati.

Air adalah elemen penting dalam hidup manusia. Air adalah sumber kehidupan. Air menyuburkan tanah tempat tumbuh-tumbuhan hidup dan berkembang.

Dari manakah air berasal? Di manakah semua air di muka Bumi ini bermuara? Bukankah air juga mengalir dalam sebuah siklus?

Panas Matahari di atas samudera mengangkat air menjadi uap dalam bentuk awan yang kemudian bergerak ditiup angin ke daratan dan turun dalam bentuk hujan. Di daratan air mengalir di banyak tempat, terus bergerak mencari dataran yang lebih rendah.

Ke manakah air yang keluar dari tubuh kita? Keluar di kamar mandi, tak sedikit yang keluar di sudut-sudut kota berbau pesing lalu masuk selokan yang kotor dan bau. Air selokan kemudian menyatu dengan air kali dan mengalir kembali ke samudera.

Di samudera proses kondensasi yang sama kembali terulang. Air terangkat oleh panas Matahari, menguap, dan menggumpal menjadi awan untuk kembali turun ke daratan.

Sementara, dalam bentuk kehidupan yang lain, biji-biji buah-buahan jatuh di berbagai tempat dibawa burung-burung. Tunas muda tumbuh menembus tanah untuk kemudian berkembang menjadi pohon dan menghasilkan buah.

Hewan-hewan di udara lantas menyantap buahnya dan membuang biji-bji buah itu ke atas tanah untuk kemudian tumbuh menjadi tunas baru.

Kelahiran kita

Pertanyaannya kemudian: jika kita hidup di dalam sebuah sistem siklus, apakah Natal kita atau keberadaan kita saat ini di sini adalah sebuah bentuk kehidupan yang linear: lahir, mati, lalu selesai?

Jika ya, berarti keberadaan kita berjalan di luar sistem kehidupan yang menaungi dan menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan kita di semesta.

Atau, tidakkah kelahiran kita juga adalah sebuah siklus kehidupan? Artinya, kita kembali berkali-kali ke Bumi ini melewati banyak kehidupan.

Jika Anda berani bertanya, bisa jadi Anda akan menemukan jawaban-jawaban yang mungkin akan muncul secara tak terduga.

Guru akan datang ketika muridnya siap, kata orang bijak.

Lepas dari pertanyaan itu, siklus Natal yang datang setiap tahun bisa dimaknai sebagai momen untuk memperbarui kualitas kemanusiaan kita.

Natal menjadi proses tanpa akhir untuk membentuk diri menjadi pribadi seperti Yesus yang mencintai manusia tanpa batas-batas tembok.

Yesus diimani kekristenan sebagai Tuhan yang mencintai manusia semata-mata karena manusia berharga dalam kemanusiaannya secara utuh.

Martabat kemanusiaan itu tidak luntur sedikitpun karena latar belakang agama, suku, ras, maupun status sosial si manusia.

Bukankah begitu wajah cinta Tuhan?

Sang Pemilik Langit, kata Yesus, menurunkan hujan untuk orang jahat maupun orang baik dan menerbitkan Matahari yang sama untuk semua jenis manusia baik yang beribadah maupun tidak.

Selamat Natal kawans, semoga semua mahluk berbahagia.

(mtd/min)