medanToday.com,MEDAN – Kasus kriminalisasi LS, jurnalis sorotdaerah.com memasuki babak baru, setelah LS yang merupakan Pemimpin Redaksi di media online tersebut, memilih untuk menempuh jalur perdamaian.

LS sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan pencemaran nama baik Kapolda Sumut Irjen Pol Paulus Waterpauw, terkait pemberitaan dugaan gratifikasi dari pengusaha Mujianto.

Perdamaian itu sendiri dilakukan lewat mediasi yang dilakukan oleh sejumlah jurnalis rekan LS dengan sejumlah petinggi Polda Sumut, di ruangan Media Management Center Polda Sumatera Utara, pada Kamis (8/3/2018).

Dalam mediasi tersebut, LS diharuskan membuat permintaan maaf tertulis yang ditujukan kepada Kapolda Sumut Irjen Pol Paulus Waterpauw.

“Sebagai tim kuasa hukum yang sebelumnya ditunjuk oleh JRTP selaku pemilik media online sorotdaerah.com dan LS untuk menangani kasus ini, tentu kami menyesalkan adanya perdamaian ini. Secara substansi kami menghargai pilihan yang diambil LS. Namun ini akan menjadi preseden buruk bagi kemerdekaan pers di masa yang akan datang,” kata anggota Tim Advokasi Pers Sumut, Aidil Aditya SH didampingi Armada Sihite SH, Jum’at (9/3/2018).

Aidil mengatakan, dengan adanya perdamaian ini maka secara resmi Tim Advokasi Pers Sumut mundur sebagai kuasa hukum dua jurnalis sorotdaerah.com tersebut. JRTP sendiri sebelumnya telah dibebaskan setelah diperiksa sebagai saksi, pada 7 Maret 2018.

Sementara, LS ditangkap pada 6 Maret 2018 oleh personil Subdit II/Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sumut. Penyidik menjerat LS dengan pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (3) UU No. 19/2016 tentang perubahan atas UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jo pasal 316 KUHPidana jo pasal 311 KUHPidana, dengan ancaman hukuman 5 tahun 4 bulan penjara.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Agoez Perdana, juga menyesalkan adanya perdamaian itu. Menurut dia, sejatinya semangat yang dibawa oleh Tim Advokasi Pers Sumatera Utara adalah untuk memperjuangkan kemerdekaan pers, agar tidak ada lagi jurnalis yang dipidana.

“Di pasal 8 UU Pers No. 40/1999 telah disebutkan, dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Namun pada kenyataannya, jurnalis justru terus di kriminalisasi. Bukan tidak mungkin, selanjutnya akan lebih banyak lagi jurnalis yang menjadi korban kriminalisasi, yang bisa setiap saat ditangkap oleh polisi karena berita yang dibuatnya,” kata Agoez.

Menurutnya, jika ada pihak yang keberatan dengan isi berita, tempuh mekanisme dengan mengajukan hak jawab atau mengadukan ke Dewan Pers.

“Polda Sumut harusnya tahu dan paham tentang UU Pers No. 40/1999 & MoU antara Polri dengan Dewan Pers tentang koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi jurnalis,” ujarnya.

Diberitakan, penyidik Polda Sumut mengklaim sudah “berkoordinasi” dengan Dewan Pers mengenai masalah ini.

Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Kasubbid Penmas Bid Humas Polda Sumut, AKBP MP Nainggolan, mereka mengaku sudah minta keterangan dari “Dewan Pers Provinsi Sumut”.

Persoalannya adalah, tidak ada institusi yang namanya Dewan Pers Provinsi Sumut, yang ada hanya Dewan Pers Indonesia, yang beralamat di Jl Kebon Sirih, Gambir, Jakarta Pusat.

Anggota Dewan Pers, Hendry CH Bangun, kembali menegaskan soal keberadaan Dewan Pers yang sifatnya nasional.

Dia mengatakan, tidak ada yang namanya Dewan Pers Provinsi Sumut. Hendry juga menyebutkan, tidak pernah ada koordinasi antara Polda Sumut ke Dewan Pers mengenai kasus ini.

“Enggak ada. Kalau misalnya ada, tidak mungkin ditangkap,” katanya, seperti dikutip dari Tirto.id

Hendry mengatakan, semua terkait produk jurnalistik maka penilaian akhir ada di tangan Dewan Pers. Penilaian itu mencakup pelanggaran etik, jurnalis yang tidak kompeten, dan aspek lainnya.(mtd/min)

===============