KAKINYA melangkah cepat. Teramat cepat dibanding sosok putih bersinar yang memiliki sayap di sebelahnya. Matanya berbinar. Dadanya membusung meski tampak ringkih. Tercium aroma anyir darah di keningnya. Entah darah siapa. Sesekali tersungging senyuman di bibirnya. Ia melihat surga. Kakinya makin cepat. Kini setengah berlari.

Puas rasanya. Usai menunaikan “tugas” di dunia, lalu disambut dengan keindahan surga di depan mata. Ya, “tugas” meledakkan bom.

………………………………………

Minggu pagi yang hening. Terselip gelak tawa anak-anak kecil yang bermain riang di halaman gereja HKBP Samarinda. Berlari berkejaran ke sana kemari. Pekik riang yang berubah sekejap hanya dengan sebuah ledakan bom molotov.

Mereka terlempar ke segala penjuru. Tersungkur. Pandangannya mungkin gelap. Tapi hatinya menerawang? Mengapa tadi terang sekarang mendadak gelap? Tadi pakaiannya cantik dan rapi serta wangi. Mengapa sekarang bau darah? Mama, badanku kok sakit begini?! Mama !!!

Intan Marbun. MTD/twitter
Intan Marbun. MTD/twitter

Aku hanya bisa membayangkan apa yang ada di pikiran gadis kecil itu. Masih berumur 3 tahun. Yang ia tahu hanya menangis dan tertawa. Meminta ini dan itu. Bermain hingga badannya berpeluh keringat dan noda tanah. Sejak kapan anak sekecil itu harus kalian lukis dengan tinta darah, wahai engkau sang perindu “surga” ?

Gigiku gemeretak melihat wajahmu yang tergeletak. Jemariku yang meliuk di atas keyboard laptop ini kuhentak dengan kencang ketika merangkai bait ini.

Kau penipu! Kau bilang jihad, tapi kenapa kau malah kabur dan menceburkan diri ke Sungai Mahakam? Apa kau juga mau meledakkan ikan-ikan yang ada di sungai? Maka bersiaplah berhadapan dengan aktivis pecinta binatang. Kau bilang mau masuk surga?

Sumpah, Demi Tuhan, sekarang aku takut masuk surga. Kalau benar katamu, itu jalanmu masuk surga, maka aku benar-benar berpikir ulang untuk masuk surga. Aku mau masuk neraka saja. Buat apa masuk surga kalau akan kulihat tawa cengegesanmu di sudut sana?

Aku tak mau masuk surga. Baumu anyir. Bau darah. Meski katanya banyak bunga di surga, aku yakin baumu yang akan memenuhi udara di sana. Bau darah dari gadis kecil yang harus tidur untuk selamanya, hanya karena egomu akan surga. Ego akan sesuatu yang kau sebut perjuangan. Kau, pengecut.

Adik kecil, maafkan kami. Pertengkaran kami yang tak pernah selesai. Ketidakdewasaan kami yang gagal paham mengikuti ajaran agama yang seharusnya. Membuatmu kini harus pergi meninggalkan dunia. Tak apa, mungkin lebih baik buatmu. Di sana, pasti, lebih indah.

Maafkan mereka yang menyakitimu. Umurnya mungkin jauh di atasmu, tapi mungkin pikirannya jauh dari kata bahagia. Mereka lupa tertawa. Mereka lupa bahagia. Dan kalau mereka juga cara untuk meminta maaf untukmu, biar kami yang mewakilkan ya sayang.

………………………………………

Langkah pria bau amis kini terhenti. Ia melihat begitu gegap gempitanya surga. Betapa banyak bidadari menanti. Tangan mereka gemulai meliuk-liuk memanggil. “Bang, sini bang..”

Pria itu makin semringah. Kumisnya melintang dengan gagahnya. Bak pria tertampan di dunia dan akhirat, ia melangkah mendekat. Lalu….

DUARRR !!!

Ia terhempas berpuluh langkah. Pandangannya mendadak gelap. Badannya perih. Tercium bau daging setengah matang. Luka bakar di sekujur tubuh.

Ia menoleh ke sosok putih bersinar yang terus mendampinginya sedari tadi. Belum sempat ia mengucapkan pertanyaan, sosok itu mengibaskan sayapnya beberapa kali sambil berkata.

Ini surgamu. Surga khusus untuk kalian yang berbau anyir. Di tempat ini, setiap 1 menit kami meledakkan bom. Maka sekarang berpesta lah, waktumu masih ada 59 detik lagi. Di detik ke-60, bersiaplah. Bom akan meledak lagi. Selamat menikmati surgamu”.

______

Penulis : Eris Estrada Sembiring | Karyawan Alfamart