Ahli Tata Hukum Negara, Bivitri Susanti dalam sebuah acara diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/11/2017).(KOMPAS.com/Nabilla Tashandra)
Ahli Tata Hukum Negara, Bivitri Susanti dalam sebuah acara diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/11/2017).(KOMPAS.com/Nabilla Tashandra)

medanToday.com, JAKARTA – Ahli tata hukum negara, Bivitri Susanti, menilai alasan Mahkamah Kehormatan Dewan ( MKD) yang tidak memproses dugaan pelanggaran kode etik terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto adalah pandangan yang keliru.

“Saya ingin meluruskan pandangan MKD yang menyesatkan,” kata Bivitri dalam sebuah acara diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (18/11/2017).

Bivitri mencontohkan, sikap Novanto yang tak mencerminkan etika baik seorang anggota dewan adalah saat kabur dari kediamannya, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) datang.

Setya Novanto, kata dia, telah melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 kode etik DPR. Pasal 2 Ayat (2) menyinggung soal kepatuhan terhadap hukum, sedangkan Pasal 3 adalah mengenai integritas anggota dewan.

Di samping itu, Pasal 81 Huruf (g) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menyebutkan bahwa seorang anggota dewan berkewajiban menaati tata tertib dan kode etik.

Jika dinyatakan melanggar, maka sesuai Pasal 237 dan Pasal 238 dalam UU MD3, yang bersangkutan bisa dijatuhi sanksi etik oleh MKD.

“Bisa saja diberhentikan sebagai anggota dewan karena tidak melaksanakan tugasnya sebagai anggota dewan,” ujar Bivitri.

Atas dasar itu, maka Bivitri menilai MKD seharusnya bergerak dan bukannya justru menyesatkan publik. MKD dapat memproses dugaan pelanggaran kode etik Novanto atas nama kehormatan dewan.

Menurut dia, wacana publik (public discourse) harus terus dimainkan agar membuahkan hasil. Misalnya, dengan melaporkan pengacara Novanto dan dokter yang menangani Novanto atas dasar dugaan pelanggaran kode etik profesi.
Salah satu dari 560 anggota DPR, menurut dia, juga harus berani melaporkan Novanto agar nama DPR tak semakin tercoreng.

“Walaupun kita pesimis hasilnya. Tapi jangan berorientasi pada hasil. Kegilaan ini harus dilawan,” kata dia.

KPK menetapkan kembali Novanto sebagai tersangka pada 10 November 2017. Novanto sebelumnya lolos dari status tersangka dalam penetapan sebelumnya setelah memenangi gugatan praperadilan terhadap KPK.

Dalam kasus ini, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.

Adapun sejumlah pihak itu antara lain Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, dan dua mantan Pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto.

Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.

Saat ini, Novanto sudah berstatus tahanan KPK meski Novanto masih dirawat di rumah sakit karena mengalami kecelakaan pada Kamis (16/11/2017) malam.

Novanto sempat menghilang saat petugas KPK mendatangi rumahnya, dan keberadaannya baru diketahui setelah mengalami kecelakaan.

(mtd/min)