medanToday.com, KUPANG – Anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Boni Bonjer Jebarus menuding pemerintah pusat menganaktirikan pembangunan jalan provinsi di wilayah itu.
Dia mengungkapkan itu, karena Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang jalan provinsi Tahun 2018 yang disetujui pemerintah pusat hanya sebesar Rp 23 miliar.
“Pemerintah pusat yang dipimpin Joko Widodo (Jokowi) tidak tuntas keberpihakannya terhadap pengembangan infrastruktur di daerah, karena hanya mengejar proyek skala besar. Sedangkan jalan provinsi tidak diperhatikan,” kata Bonjer kepada KompasProperti, Kamis (9/11/2017).
“Pemerintah Jokowi tidak pro terhadap jalan provinsi, khususnya di NTT. Jalan provinsi menjadi korban kebijakan pemerintah pusat,” sambung dia.
Menurut Bonjer, penanganan berbeda justru dilakukan terhadap jalan nasional dengan tingkat kemantapannya di atas 90 persen. Itupun, kata dia, masih diintervensi triliunan rupiah oleh pemerintah pusat.
“Untuk jalan nasional, ibaratnya pembangunan jalan hotmix di atas kasur. Sedangkan untuk provinsi malah anggarannya semakin berkurang,” keluh Bonjer.
Dengan kebijakan pengurangan DAK jalan provinsi, otomatis setiap tahun, Pemda NTT hanya mampu membangun satu hingga dua kilometer jalan.
“Mungkin sampai Indonesia bubar pun tidak akan tertangani. Kalau pun tertangani, jalan baru yang sebelumnya sudah tertangani malah cepat,” kata politisi Partai Demokrat asal Daerah pemilihan Manggarai Raya itu.
Hal ini, disebutnya, sebagai anomali, lantaran sejumlah Anggota DPR asal NTT menduduki jabatan penting di DPR termasuk Ketua DPR Setya Novanto asal daerah pemilihan NTT.
Terlebih Presiden Jokowi sudah berulang kali berkunjung ke NTT, tapi keberpihakan pemerintah untuk penanganan jalan provinsi tidak begitu nampak.
Bonjer pun berharap, ke depannya pemerintah pusat bisa mengkaji kembali DAK untuk pembangunan jalan provinsi.
Menanggapi hal ini, Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat (PUPR) Endra Saleh Admawidjaya mengatakan pihaknya masih perlu mengecek data ke Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) X NTT.
“Maaf, kami baru selesai acara kunjungan Menteri Infrastruktur Korea Selatan. Sebentar kami cek dulu angka-angkanya ke BPJN NTT,” kata Endra ketika dihubungi KompasProperti, Sabtu (11/11/2017).
Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi lanjutan dari Endra, maupun Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR Arie S Moerwanto yang dihubungi sejak kamis (9/11/2017).
Kubangan
Sebelumnya diberitakan, kondisi jalan provinsi di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat memprihatinkan. Melihat kondisi aktual, akses konektivitas ini sebetulnya tidak layak disebut jalan, melainkan kubangan.
Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTT Andre Koreh, jalan provinsi di NTT dirancang sepanjang 2.800 kilometer. Hanya 41 persen yang kondisinya baik.
“Sedangkan 59 persen lainnya mengalami rusak ringan dan berat,” kata Andre, (24/5/2017).
Kerusakan jalan itu lanjut Andre, tersebar merata di 21 kabupaten dan satu kota di provinsi yang berbatasan dengan Australia dan Timor Leste itu.
Dengan kondisi demikian, tentu masih terlihat jelas adanya kesenjangan yang luar biasa antara jalan provinsi dengan jalan nasional.
Andre memaparkan, jalan nasional di NTT sepanjang 1.800 kilometer. Sebagian besar yakni 90 persen di antaranya dalam kondisi baik dan sekitar 10 persen rusak sedang, dan berat.
Sementara itu, kondisi jalan kabupaten lebih parah lagi, karena hanya 30 persen yang baik dari total panjang 16.000 kilometer.
Andre mengaku, penyebab utama belum dibenahinya jalan rusak di provinsi dan kabupaten karena penempatan dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU) dari pemerintah pusat belum ideal.
Untuk pembangunan jalan nasional, pemerintah pusat mengalokasikan dana hampir Rp 2 triliun. Sedangkan jalan provinsi hanya Rp 200 miliar.
Dengan sebesar itu, Andre menganggapnya masih kurang. Idealnya untuk membenahi jalan provinsi, dananya harus Rp 4 triliun per tahun.
“Karena bukan hanya jalan tapi juga sektor lainnya di bidang ke-PU-an, sehingga nanti dicocokkan dengan rencana strategi yang sudah ditetapkan,” kata Andre.
Dengan hanya Rp 200 miliar, jalan yang bisa dibangun hanya 60 kilometer per tahun. Itu pun dengan catatan, spesifikasi hotmix sepanjang satu kilometer dengan lebar empat sampai enam meter, dan bahu jalan satu sampai dua meter dengan dana Rp 3,5 miliar.
Dari 60 kilometer jalan itu dibagi untuk 21 kabupaten dan satu kota, berarti masing-masing kabupaten dan kota hanya mendapatkan jatah 2,7 kilometer. Hal itu kata dia, tentu tidak akan menyelesaikan masalah.
“Karena itu, kami butuh sebuah kebijakan yang dapat mengubah pola pembiayaan dengan adanya pemberian DAK dan DAU yang merata dan berimbang,” pungkasnya.
(mtd/min)