Kakek bernama Rusli yang menjajakan kerupuk kangen di Jalan KH. Wahid Hasyim. (MTD/Firi Gayatri)

medanToday.com, MEDAN – Kehidupan memang keras bagi mereka yang tak berpunya. Sepertinya ini bukanlah sekedar kiasan bagi Rusli (86), seorang kakek yang masih berjualan kerupuk jangek di usia senjanya.

Keadaan yang memaksa lelaki yang berumur hampir seabad ini untuk tetap berjualan, meski kadang untuk menghela nafas saja sudah sangat sulit baginya.

Berjalan sambil menenteng seplastik besar dagangannya menyusuri jalan yang dianggapnya ada harapan orang yang akan membeli. Sesekali langkahnya terhenti, sekedar untuk menarik nafas dan berusaha tetap bersyukur tanpa mengeluh apalagi memaki kehidupan yang dirasa tak adil bagi orang sepertinya.

Lelaki tua yang berasal dari Tembung ini, harus menaiki angkot terlebih dahulu. Entah apa alasannya, yang memilih berhenti dan menjajakan dagangannya di sekitar Jalan Wahid Hasyim.

“Saya hanya berusaha, tanpa berpikir sedikit pun untuk mengemis yang mungkin saja dilakukan,” ujarnya sambil meminum air mineral yang kuberikan.

Kakek bernama Rusli yang menjajakan kerupuk kangen di Jalan KH. Wahid Hasyim. (MTD/Firi Gayatri)

Saat kutanya, apakah beliau punya keluarga ternyata jawaban yang kuterima darinya tanpa sadar menamparku bahwa kehidupan ini begitu kejam bahkan untuk orang yang yang seharusnya menikmati hari tuanya.

“Sejak menikah dengan istri, memang tidak dikaruniai anak. Orang rumah juga sudah meninggal,” ujarnya.

Kakek yang tinggal sebatang kara ini hanya mempunyai keponakan yang tak mau ditinggali olehnya. Mengusir dan hanya mau menerimanya ketika dia meninggal demi mendapatkan beberapa sen uang belangsungkawa dari para tetangga. Begitu mirisnya yang engkau terima di sisa akhir usiamu kek?

Berjalan saja sudah sangat sulit untuk menggerakkan kakinya, ditambah harus menjinjing kerupuk jangek jualannya terkadang membuat kakek ini harus menahan sesak nafas yang memang di deritanya.

“Kalau tidak berjualan, dapat uang darimana nak untuk makan? Untuk beli obat sesak nafas,” ungkapnya sambil terbata karena sulit untuk bernafas.

Jika kedua kakinya tak sanggup lagi untuk menopang badannya, beliau mencari mesjid untuk sekedar melepaskan sejenak lelah di punggungnya.

Ketika bercerita mengenai keluarganya, terlihat di sudut matanya yang keriput menitikkan air. Begitu berat yang dirasakannya, namun bibirnya tak pernah berhenti mengucapkan syukur kepada Sang Pencipta untuk segala rezeki yang di terimanya.

Yang membuatku ikut menangis saat kedua tangannya menggenggam tanganku, sambil membacakan doa pada Allah Swt dengan khusyuknya untuk sedikit rezeki yang kuberi.

Sekali lagi, aku merasa tertampar dengan kenyataan hidup ini. Saat aku masih mengeluh dengan segala nikmat dan rezeki yang ku terima, dibandingkan dengan lelaki tua renta yang dengan segala kekurangan tapi masih sanggup dan selalu bersyukur.

“Berharap saja pada yang kuasa nak, Dia yang tahu usaha hambanya,” tambahnya sambil meneguk airnya yang terakhir. (mtd/fri)

========================================================