Konflik Agraria Menumpuk, KONTRAS Tagih Janji Gubernur EDY RAHMAYADI

0
206

medanToday. Com, MEDAN – Memperingati Hari Tani Nasional (HTN) yang jatuh setiap tanggal 24 September, konflik agraria masih menjadi sorotan yang sangat penting. Konflik agraria yang ada tidak pernah selesai, bahkan jumlahnya kian menumpuk.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS Sumut) menilai, menganggap persoalan konflik agraria di Sumut ibarat benang kusut yang sulit diurai. Begitu pun jika pemerintah memiliki kemampuan, perlahan konflik ini bisa diselesaikan.

“Konflik agraria semakin menumpuk, sedangkan di sisi lain belum ada pola penyelesaian yang efektif. Pendekatan yang dilakukan masih konvensional, cenderung menyampingkan hak rakyat kecil dan pro pada pemodal-pemodal besar” Kata Amin Multazam, Koordinator KontraS Sumut, Kamis (23/9/2020).

Sewaktu baru menjabat sebagai gubernur, tepatnya usai rapat paripurna perdana pada 10 September 2018, Edy Rahmayadi menyampaikan komitmennya untuk menyelesaikan konflik agraria dalam jangka waktu setahun. Namun, setelah dua tahun mengemban tanggung jawab sebagai Gubernur Sumut, KontraS menilai persoalan konflik agraria justru semakin mengkhawatirkan. Janji Edy menuntaskan konflik dalam waktu satu tahun ibarat jauh panggang dari api.

Amin menyampaikan, dari hasil monitoring sepanjang tahun 2020, KontraS mencatat 30 titik konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara.  Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, yang mana kontras mencatat terdapat 23 titik konflik.

“Situasi ini bukan hanya mengakibatkan terampasnya ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat, namun juga kerap mengakibatkan korban luka hingga kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan hak atas tanahnya” Kata Amin.

Secara garis besar, KontraS mengkategorikan akar persoalan konflik agraria di Sumut menjadi 5 jenis.  Pertama, konflik akibat tumpang tindih HGU. Kedua, Konflik diatas tanah eks HGU, Ketiga, konflik akibat masuknya pembangunan/industri skala besar. Keempat, konflik imbas belum direalisasinya kebun plasma dan kelima, konflik dikawasan hutan.

Menurut Amin, Konflik diatas lahan HGU paling banyak terjadi diwilayah pantai timur Sumatera Utara yang merupakan daerah perkebunan potensial. Sedangkan persoalan Eks HGU di dominasi seputar 5873,06 HA yang tersebar di Deli Serdang, Langkat Dan Binjai. Adapun konflik imbas pembangunan dan masuknya industri skala besar terjadi di Deli Serdang, Langkat, kawasan Danau Toba (KDT) hingga Dairi.

Amin menambahkan, di sepanjang Pantai Barat Sumut bergejolak konflik persoalan kebun plasma. Sedangkan Konflik di kawasan hutan akibat izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menggerus tanah adat masyarakat hingga polemik perhutanan sosial tersebar merata di hampir seluruh Kabupaten/Kota.

Berbagai persoalan ini sejak bertahun-tahun menjadi penyumbang konflik pertanahan di Sumatera Utara. Titik konfliknya menyebar di hampir setiap kabupaten kota. Namun formulasi penyelesaian, atau seminimalnya upaya menekan angka konflik belum terlihat.

“Masing-masing kategori itu punya pendekatan dan cara penyelesaian yang berbeda, hal itu yang hingga dua tahun ini belum terlihat dikerjakan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara” Ujarnya.

Titik konflik yang mendapat sorotan KontraS diantaranya terkait polemik diatas lahan PTPN II. Proses okupasi maupun re-planting lahan oleh PTPN II dalam satu tahun belakangan kerap menimbulkan konflik ditengah-tengah masyarakat. Dengan dalil mengamankan asset, PTPN II gencar mengambil alih lahan-lahan yang selama bertahun-tahun dikelola masyarakat.

Beberapa HGU PTPN II yang dalam setahun belakangan menimbulkan polemik ditengah masyarakat misalnya HGU No 171 di Pancur Batu (kwala Bekala), HGU No 54,55 di Binjai Timur (Tunggurono), HGU No 90,92 di Sei Mencirim, HGU No 91 di Kutalimbaru (Sei Glugur), HGU No 94 di STM Hilir (Limau Mungkur), HGU No 113 di Kecamatan Batang Kuis (Bandar Klipa), HGU No 152 di Percut Sei Tuan (Sampali), HGU No 111 di Labuhan Deli (Helvetia) hingga HGU No 3,5 di Stabat (Kwala Bingei)

Dari kajian KontraS, tumpang tindih di lahan HGU PTPN II disebabkan beberapa faktor. Pertama, HGU aktif PTPN II sempat ditelantarkan belasan tahun, sehingga dikelola oleh masyarakat. Kedua, HGU justru terbit saat tanah telah dikuasai masyarakat pascareformasi. Ketiga, HGU berada diatas tanah yang memiliki ikatan sejarah dengan masyarakat, hasil penggusiran paksa saat rezim orde baru.

Oleh sebab itu, penyelesaian konflik diatas lahan PTPN II membutuhkan formulasi yang jelas. Tidak bisa dilakukan hanya dengan melihat hilir persoalan. Bahwa PTPN II punya HGU dan masyarakat dipaksa untuk angkat kaki. Lalu kemudian diberikan konsep kompensasi,  ganti rugi, atau tali asih. Menyelesaikan persoalan dilahan PTPN II tidak sesederhana itu.

Terkait kawasan Eks HGU PTPN II seluas 5873,06 HA, konflik yang terjadi di areal ini, sebagian besar didominasi oleh persoalan horizontal antar masyarakat sipil. Seperti penggarap versus penggarap, Organisasi Kemasyarakatan/Pemuda versus Kelompok Tani atau sebaliknya.

“Secara jumlah konflik, memang ada sedikit penurunan. namun bukan berarti bahwa zona eks HGU PTPN II semakin kondusif. Justru areal ini berpotensi meledak kapan saja selama belum ada proses penyelesaian yang tuntas” tukas Amin.

Persoalan lain yang menjadi catatan KontraS yakni menyangkut maraknya berbagai proyek strategis nasional yang justru disisi lain mengancam hak ekonomi sosial dan budaya masyarakat sekitar. Masalah-masalah klasik seperti Pembangunan infrastruktur yang tidak partisipatif, penyusunan AMDAL hanya untuk formalitas, hingga munculnya mafia tanah yang menyebabkan warga negara tercerabut hak-haknya masih jadi persoalan yang muncul dalam pelaksanaan proyek pembangunan. Mirisnya, ketidaksepakatan warga atas suatu proyek malah direspon dengan intimidasi dan penggunaan hukum pidana berupa kriminalisasi.

KontraS berharap di tengah situasi pandemi ini, sejumlah titik konflik tadi angkanya dapat diminimalisir. Namun kenyataan dilapangan justru tidak demikian. Meskipun pandemi belum tuntas, penyerobotan lahan, perusakan tanaman, hingga proses pembangunan yang harus menggusur masyarakat justru terus berlangsung.

“Apa yang dialami teman-teman BPRPI di Langkat baru-baru ini bisa jadi contoh, sekalipun pandemi tapi okupasi diatas tanah adat yang sudah mereka kelola dan perjuangkan puluhan tahun justru terus dilakukan” pungkasnya.