Mayoritas Millenials Makan di Restoran Minimal Sebulan Sekali Riset Inventures menyebut 64 persen millenials makan di restoran minimal satu kali sebulan. 30 persen di antaranya mampir hingga lima kali dalam sebulan. (REUTERS/Kim Kyung-Hoon).
Mayoritas Millenials Makan di Restoran Minimal Sebulan Sekali Riset Inventures menyebut 64 persen millenials makan di restoran minimal satu kali sebulan. 30 persen di antaranya mampir hingga lima kali dalam sebulan. (REUTERS/Kim Kyung-Hoon).

medanToday.com, JAKARTA – Riset Inventures Indonesia melansir, ada 64 persen generasi millenials yang meluangkan waktu dan biaya untuk makan di restoran setidaknya satu kali dalam sebulan. Bahkan, 30 persen millenials di antaranya menyambangi restoran hingga lima dalam sebulan.

Millenials merogoh kocek paling sedikit Rp50 ribu – Rp100 ribu untuk satu kali makan di restoran. Apalagi, aktivitasnya tak sekadar makan. Inventures menyebut 83 persen respondennya yang merupakan millenials bahkan pergi ke restoran untuk bersosialisasi.

Sementara, 48 persen responden mengaku sekadar menghabiskan waktu luang dan 24 persen responden lainnya hanya ingin berfoto mengambil gambar-gambar bagus.

Managing Partner Inventures Yuswohady menuturkan, fenomena ini muncul sebagai imbas perubahan pola kebutuhan masyarakat dari kebutuhan dasar (basic needs) menjadi kebutuhan mengisi waktu senggang (leisure needs).

Saat ini, populasi masyarakat di kelas berpendapatan menengah kian menanjak dan sebagian besar kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi. Sehingga, mereka memilih mengeluarkan pendapatannya untuk kebutuhan yang bersifat sekunder.

“Apalagi, untuk generasi millenials, basic needs mereka sudah terpenuhi. Paling mudah, rumah sudah ada. Jadi, generasi millenials sebenarnya sudah enak dari dulu. Kondisi ini sangat berbeda dengan Generasi X, di mana untuk sekolah saja susah, rumah masih di kampung. Saat ini, masyarakat urban, kebutuhannya meningkat dan bergerak ke arah experience (pengalaman),” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (28/12/2017).

Lebih lanjut Yuswohady mengatakan, tren leisure economy ini sebetulnya sudah tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Di kuartal II 2015, pertumbuhan konsumsi leisure needs secara tahunan (year on year) ada di kisaran 4 persen.

Namun, dua tahun berikutnya, pertumbuhannya melesat mendekati angka 6 persen. Jangan heran kalau kebiasaan masyarakat untuk makan di luar (dine out) semakin menjadi.

Meski demikian, kondisi ini disebut tidak hanya melanda Indonesia. Hampir sebagian besar negara-negara yang masuk golongan kelas menengah juga mengalami kondisi yang sama.

“Dan, saya kira ini pun bukan tren sesaat, karena memang sejak 2010 lalu, di mana Indonesia sudah menembus Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar US$3 ribu. Itu trennya sudah mulai. Di seluruh dunia, dine out ini merupakan tren global,” paparnya.

Tak cuma untuk makan-makan, pengeluaran millenials juga habis untuk kegiatan leisure lainnya, seperti menonton konser dan penggunaan internet. Berdasarkan riset tersebut, 90 persen millenials setidaknya menonton konser satu-tiga kali dalam tiga tahun.

Sementara, untuk penggunaan ponsel pintar, millenials menghabiskan waktu rata-rata 1,82 jam dalam satu hari.

Melihat kondisi ini, Yuswohady menyarankan, pelaku usaha untuk menangkap peluang tersebut. Pelaku usaha diminta mengubah produksi barang dan jasa dari yang bersifat kegunaan (utility) menjadi pengalaman dan interaksi antar manusia (connection).

Ambil contoh, kedai kopi yang tadinya hanya menyediakan jenis minuman kopi, harus mulai bergerak menciptakan suasana menarik dan membuat konsumennya merasa istimewa.

“Saat ke kedai kopi, misalnya, orang ke sana kan tidak sekadar ngopi, tapi juga buat foto-foto dan dibagikan di media sosial. Di sini, mereka tergugah untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, bisa dilihat dari likes di instagram, misalnya. Nah, intinya, nilai barang dan jasa yang ditawarkan harus bisa bergerak dari utility value ke arah experience dan connection value,” pungkasnya.

(mtd/min)