Pewarta Foto AFP,Adek Berry. MTD/Ist

medanToday.com,MEDAN – Adek Berry, Fotografer Agence France Presse (AFP) berbagi pengalamannya yang sering meliput bencana dan konflik kepada para jurnalis di Kota Medan Jumat (18/1). Adek Berry mengungkapkan, betapa berisikonya pekerjaan jurnalis. Khususnya yang melakukan liputan di daerah bencana dan konflik.

Fotografer perempuan itu berbagi cerita dalam diskusi yang digelar Pewarta Foto Indonesia (PFI) Kota Medan di sebuah cafe di kawasan Jalan Perjuangan, Jumat (18/1). Dalam diskusi itu, para jurnalis dan komunitas media yang ada di Kota Medan, terperangah mendengar paparan Adek Berry.

Adek Berry mengungkapkan, bukan hal mudah menjadi jurnalis. Dia bercerita, jurnalis di Indonesia harus mempersiapkan diri untuk meliput bencana. Karena, Indonesia termasuk daerah yang rawan diterjang bencana.

Dalam kondisi bencana, setiap jurnalis tidak boleh hanya memikirkan bagaimana mendapat berita bagus. Yang paling diutamakan adalah keselamatan. Karena tidak ada berita seharga nyawa.

Pengalaman Adek Berry yang teranyar, saat dia meliput bencana Gempa di Lombok. Lalu dia harus bergegas meliput Asian Games.

“Yang terbaru saya foto adalah gempa Lombok. Terjadi empat hari sebelum Asian Games. Begitu selesai dari Lombok saya langsung ke Palembang untuk memotret Asian Games. Tapi sebagai jurnalis, kita harus siap dengan kondisi seperti ini,” ungkapnya.

Menjadi seorang jurnalis memang dipenuhi risiko. Pekerjaanya seperti tak mengenal waktu. Ketika peristiwa memanggil harus siap kapanpun.

Meski sudah berkeluarga dan punya dua buah hati, menjadi jurnalis bukan penghalang. Dia tetap aktif melakukan peliputan. Malah keluarga menjadi penyemangatnya saat bekerja.

“Kuncinya adalah manajemen dan membagi waktu,” ujar perempuan berhijab itu.

Kata dia, dalam meliput peristiwa kebencanaan, jurnalis dituntut punya perhitungan tinggi. Harus belajar bagaimana memetakan lokasi. Hingga risiko yang akan didapat.

“Kalau kita masuk kira-kira bisa keluar enggak. Risikonya seperti apa kita harus betul-betul perhitungkan. Untuk pekerjaan seperti ini, kita memang harus berani mengambil keputusan dengan cepat dan mengambil risiko,” katanya.

Jurnalis lanjutnya, juga dituntut punya pengetahuan cukup. Khususnya pada manajemen bencana dan penyelamatan diri.

Dia pun memberi tips bagaimana meliput bencana dari sisi humanis. Ekspresi masyarakat yang menjadi korban bencana sangat penting untuk didokumentasikan. Agar pesan dalam berita itu tersampaikan dengan baik kepada pembaca.

“Selain memotret, saya terbiasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang yang saya foto. Karena foto kuat tidak akan pergi jauh tanpa berita yang kuat dan lengkap. Kalau foto sudah kuat dan berita kuat maka efeknya juga akan lebih jauh,” jelasnya.

Selain bencana alam, yang sering terjadi di Indonesia adalah kecelakaan transportasi. Saat seperti ini, jurnalis juga harus siap kapan saja peristiwa memanggil.

“Bagaimana kalau kita meliput di wilayah konflik? Yang pertama adalah safety first, keamanan yang utama,” tegas Adek.

Di kantor berita AFP, katanya, para jurnalis diberikan training khusus untuk meliput ke daerah bermusuhan. Diajarkan P3K, navigasi, menggunakan komunikasi satelit, menangani penculikan dan lain sebagainya.

“Saran saya PFI Medan bikin pelatihan seperti ini bekerjasama dengan pihak lain. Karena secara umum jurnalis ini nekat karena tekanan deadline dan lainnya,” ungkapnya.

Ketua PFI Medan, Rahmad Suryadi mengatakan, gelaran diskusi fotografi memang menjadi agenda rutin PFI Medan. Namun diskusi kali ini, lebih spesial karena PFI Medan kedatangan teman diskusi dari Fotografer Perempuan ternama di Indonesia yaitu Adek Berry.

“Siapa yang enggak kenal Adek Berry. Fotografer AFP yang sering meliput ke kawasan konflik dan bencana. Di tengah begitu banyaknya fotografer di Indonesia, Adek Berry berhasil membuktikan bahwa perempuan juga bisa menjadi fotografer yang hebat,” ujarnya.

Rahmad berharap, dengan diskusi ini para fotografer di Medan bisa terinspirasi dari pengalaman dengan Adek Berry dan bisa termotivasi untuk terus berkarya di di dunia fotografi. Selain diskusi, dilakukan pula sosialisasi buku berjudul Mata Lensa karya Adek Berry.(mtd/min)

==================