PILGUB SUMUT & Persimpangan PRIMORDIALISME – UNIVERSALISME

0
631
Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Djarot Syaiful Hidayat-Sihar Sitorus saat acara debat publik pertama yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumatera Utara di Hotel Santika Medan, Sabtu malam (5/5/2018).

medanToday.com,JAKARTA – Pilkada Sumatera Utara selalu mendapat perhatian lebih karena jumlah penduduknya yang besar dan karakteristik wilayah serta warganya yang beragam. Pada tahun ini, warga Sumut bakal mendapat pemimpin baru dengan harapan figurnya lebih bersih dan jaminan mutu bisa memajukan Sumut.

Jumlah penduduk Sumut berdasarkan data BPS 2010 mencapai 13.103.596 atau nomor empat terbanyak di Indonesia, setelah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Daftar pemilih tetap di Sumut mencapai 9.902.879 pada Pilpres 2014, meski angka golputnya terbilang sangat tinggi.

Berdasarkan data tersebut, terjawab sudah mengapa kompetisi Pilkada Sumut berlangsung sengit dan figur yang bertarung seharusnya juga melewati seleksi ketat partai pengusung. Bukan cuma popularitas dan pengaruhnya, tapi juga harus dipastikan mampu memimpin Sumut yang kaya budaya dan warna.

Dua pasang calon gubernur-wakil gubernur yang bersaing pada Pilkada Sumut, Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah (Ijeck), didukung PKS, Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN, Partai Hanura, dan Partai Nasdem. Adapun pasangan nomor urut dua, Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus didukung PDI Perjuangan dan PPP.

Kayanya warna pada Pilkada Sumut ditegaskan oleh latar belakang cagub-cawagubnya. Edy yang kelahiran Aceh berduet dengan Ijeck yang lahir di Medan dan beragama Islam. Namun, pasangan ini terganggu atas dugaan korupsi dana interpelasi kepada puluhan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 yang diduga melibatkan Ijeck. Ijeck bahkan telah diperiksa KPK beberapa kali.

Adapun pasangan Djarot-Sihar terbilang lebih komplet. Djarot yang berdarah Jawa dan seorang muslim berpengalaman menjadi kepala daerah di Blitar dan DKI Jakarta, sedangkan Sihar adalah pengusaha dan tokoh sepak bola nasional berdarah Batak kental kelahiran Jakarta.

Mengapa Djarot-Sihar lebih komplet, karena BPS mencatat Sumatera Utara dihuni etnis Batak (44,57 persen), Jawa (33,28 persen), Nias (7,03 persen), Melayu (5,95 persen), Tionghoa (2,62 persen), Minangkabau (2,57 persen), dan Aceh (1,02 persen).

Duet Djarot-Sihar paling berpeluang menggarap suara dari pemilih beretnis Batak dan Jawa, serta pemeluk Islam dan Kristen.

Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menilai, pasangan Djarot-Sihar juga berpeluang besar mendapat limpahan suara dari pendukung JR Saragih-Ance Selian karena alasan sosiologis. JR Saragih gagal maju sebagai calon gubernur Sumatera Utara dan ditetapkan sebagai tersangka pemalsuan legalisasi ijazah dan tanda tangan kepala dinas.

“Kecenderungannya akan lebih menguntungkan Djarot-Sihar,” ujar Qodari, di Jakarta.

Elektabilitas Djarot-Sihar kini mencapai 37 persen dan unggul dari Edy-Ijeck yang elektabilitasnya 36,1 persen berdasarkan hasil survei Indo Barometer yang dirilis awal Juni 2018.

Unggulnya elektabilias Djarot-Sihar dinilai berkat program yang ditawarkan lebih terukur dan mudah dimengerti masyarakat. Seperti Kartu Pintar, Kartu Sejahtera, peningkatan program pariwisata, ekonomi, dan pemberantasan korupsi.

“Djarot-Sihar fokus menjelaskan program, tidak sibuk menjelek-jelekkan pasangan lain,” kata anggota tim pemenangan Djarot-Sihar, Asban Sibagariang.

Secara terpisah, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menyampaikan, masyarakat Sumut harus memilih calon pemimpinnya secara bijak. Indikator dan latar belakang figur yang akan dipilih harus dipelajari, khususnya untuk mewujudkan pemerintahan Sumut yang bersih dari korupsi karena gubernur terdahulunya sama-sama masuk penjara sebagai terpidana kasus korupsi.

“Yang harus ditegaskan adalah siapa pemimpin yang bisa menyiapkan visi misi atau program yang jelas dan terukur,” ucap Emrus.

Direktur Indonesia Political Review Ujang Komarudin menyampaikan, hasil Pilkada Sumut bisa mengubah wajah tanah Batak menjadi lebih universal. Menurut dia, Sumut adalah daerah yang berhasil merawat keberagaman dan percampuran budaya karena selain Islam dan Kristen yang menjadi agama mayoritas, terdapat juga pemeluk agama Katolik, Budha, dan Hindu di sana.

Sebagai contoh, kata Ujang, Sumut pernah dipimpin gubernur dari etnis Jawa yang diusung PKS. Meski akhirnya ditahan KPK karena korupsi, tapi terpilihnya Gatot merupakan bukti masyarakat Sumut dapat menerima figur dari luar etnis Batak.

“Ketika kita bicara suku dan agama, masyarakat Sumut sudah terbuka. ini contoh yang baik ya, miniatur Indonesia yang mepersatukan, bukan membuat konflik,” ujarnya.

“Sumut harus bisa menghadapi perkembangan zaman, daerah-daerahnya harus siap. Siapapun yang terpilih nanti harus mampu membawa perubahan positif untuk Sumut,” ucap Ujang lagi.

Kini waktunya masyarakat Sumut memilih calon pemimpin dengan hati yang bersih, yang mau mendengar, dan tidak mengulang trauma pemimpin korup yang menyakitkan.