medanToday.com,JAKARTA – Sejumlah mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di DPR meminta pengesahan RUU KUHP ditunda. Permintaan itu diamini oleh DPR dan Pemerintah. Alhasil, KUHP saat ini tetap berlaku, yaitu KUHP warisan kolonial penjajah Belanda.

Dalam KUHP yang berlaku saat ini, perzinaan diatur dalam Pasal 284 ayat 1. Pasal itu berbunyi:

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya:

1. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak;
2.seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
3. seorang wanita tidak kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

Nah, dalam RUU KUHP yang ditunda, zina telah diluaskan maknanya. Pasal 417 ayat 1 RUU KUHP berbunyi:

Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II.

Nah, siapakah yang dimaksud ‘bukan suami atau istrinya’? Dalam penjelasan disebutkan:

1. Laki‑laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
2. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki yang bukan suaminya;
3. Laki‑laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
4. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki, padahal diketahui bahwa laki‑laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
5. Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan.

Tapi apakah bisa setiap pelaku zina bisa dipenjara? Ternyata negar tidak bisa seenaknya masuk ke ranah privat itu. Sebab, untuk bisa memenjarakan pelaku ‘kumpul kebo’ di atas, harus ada syarat mutlak, yaitu atas aduan suami, istri, orang tua, atau anak. Yang dimaksud anak adalah anak kandung yang usianya telah 16 tahun.

“Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai,” demikian bunyi pasal 417 ayat 4 RUU KUHP.

Bagaimana dengan LGBT? Dalam KUHP saat ini, LGBT hanya dikenakan kepada pelaku yang korbannya anak (belum berusia 18 tahun). Bila sudah sama-sama dewasa, maka tidak bisa dipidana. Pasal 292 berbunyi:

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

RUU KUHP kemudian mengubah konsep pemidanaan LGBT dalam KUHP. Sepanjang melakukan pencabulan di muka umum, maka bisa dipenjara 18 bulan. Pasal 421 selengkapnya berbunyi:

1. Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
a. di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori III.
b. secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
c. yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
2. Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Namun, RUU KUHP kini kembali teronggak di meja DPR. Draft yang mulai didengungkan sejak tahun 1963 itu lagi-lagi belum bisa disahkan sebagai produk pengganti KUHP kolonial penjajah Belanda.(mtd/min)

=================