medanToday.com – Tahun 2017 merupakan thaun yang brutal bagi anak-anak. Kenapa tidak, anak-anak yang terperangkap di zona perang acapkali direkrut menjadi pejuang perang, pelaku bom bunuh diri, dan tameng manusia.

“Anak-anak dijadikan target dan juga dihadapkan dengan serangan-serangan dan kekerasan yang brutal di rumah mereka,” ujar Manueal Fontaine, direktur UNICEF of emergency programmes, seperti dikutip oleh The Guardian.

Tak jarang anak-anak juga diperkosa, dipaksa untuk menikah, diculik, dan dijadikan budak sebagai satu taktik berkonflik.

Fontaine juga menyatakan tindakan-tindakan brutal yang terus-menerus terjadi dari tahun ke tahun ini tidaklah boleh dijadikan sebuah hal normal.

Contoh, tahun lalu mantan tentara anak-anak Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) memaparkan mereka diculik dari keluarga mereka dan akan dihukum secara tidak manusiawi jika mereka menolak menjadi tentara anak-anak.

Dailymail juga memberitakan bahwa para anak-anak yang berhasil melarikan diri ini diajari nilai-nilai radikal kelompok teroris tersebut.

Selain itu, mereka juga akan diajarkan untuk membunuh orangtua mereka sendiri karena aliran kepercayaan mereka yang sesat. Bahkan Nouri, seorang anak berumur 11 tahun, mengaku bahwa kakinya dipatahkan setelah dirinya menolak untuk menghadiri satu pelatihan ISIS.

“Sering kali ketika kami sedang berhadapan dengan ISIS, kami melihat anak-anak pada baris depan dan mereka menggunakan explosive vests (rompi yang dapat meledak). Otak mereka telah dicuci,” ujar Aziz Abdullah Hadur, komandan pejuang Peshmerga kepada CNN.

Hadir juga menyatakan bahwa para pejuangnya sering kali tidak mengetahui apakah anak-anak yang menghampiri mereka ingin lari dari ISIS atau ingin membunuh mereka.

“Ketika mereka berhasil memasuki barisan kami, mereka akan membunuh pejuang kami. Keputusan seperti ini sangatlah berat. Kamu tidak tahu apa yang harus kamu lakukan karena jika kamu tidak membunuh mereka maka mereka akan membunuhmu,” tambah Hadur.

Tak dipercaya tetangga

Kesaksian tak hanya datang dari anak-anak di Timur Tengah. Grace Achara telah melarikan diri dari Lord’s Resistance Army (LRA) di Uganda. Dia diculik sejak ia masih anak-anak, diperkosa, dan juga dipaksa untuk membunuh.

“Saya berumur 16 tahun ketika saya membunuh untuk pertama kalinya,” ujar Achara kepada Al-Jazeera. Ia mengaku bahwa dirinya membunuh seorang pria yang berusaha untuk melarikan diri dari LRA menggunakan tongkat kayu.

Selain diperkosa dan dipaksa untuk membunuh, anak-anak yang diculik oleh LRA juga dipaksa untuk mencuri dan dipukuli. Walaupun Achara sudah melarikan diri dan berusaha hidup normal kembali, para tetangganya tidak mempercayainya.

Mereka mempercayai bahwa Achara masih mempunyai karakter yang dapat melakukan kekerasan dan mencoba membunuh anak-anak.

Rentan terdampak konflik

Selain itu, The Guardian juga menambahkan bahwa tak hanya menjadi target dalam berperang, anak-anak juga sangat rentan terhadap dampak berlangsungnya konflik. Malnutrisi, penyakit, terpaksa keluar dari sekolah, terbatasnya atau terputusnya akses kepada makanan, air, dan sanitasi.

Bahkan UNICEF melaporkan, pada tahun 2015 terdapat 27 juta anak-anak yang terpaksa harus meninggalkan pendidikannya di 24 negara tempat konflik sedang berlangsung. Di tahun yang sama, hampir 50 juta anak-anak juga menjadi pengungsi, migran, dan internally displaced person atau pengungsi internal.

Yaman menjadi contoh dimana para anak-anak terkena dampak dari konflik yang ada. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memberitakan bahwa lebih dari 80 anak meninggal atau terluka di bulan Desember 2017 saja.

“Hari ini sangatlah pantas untuk dikatakan bahwa Yaman adalah salah satu tempat terburuk di dunia untuk menjadi seorang anak,” ujar Geert Cappelaere, direktur regional UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, seperti dikutip oleh Jordan Times pada akhir November 2017.

UNICEF juga memaparkan bahwa 11 juta anak Yaman sangat membutuhkan bantuan, dua juta juga sedang menderita malnutrisi akut, serta dalam setiap 10 menit terdapat anak yang meninggal di Yaman akibat penyakit yang dapat dicegah.

Hal-hal seperti ini terjadi karena Yaman sedang berada dalam konflik sejak tahun 2015 yang menyebabkan terhambatnya akses kepada fasilitas kesehatan.

UNICEF telah meminta seluruh pihak yang terlibat dalam konflik untuk secepatnya mengakhiri kekerasan terhadap anak-anak dan juga berhenti merusak fasilitas sekolah dan rumah sakit. Selain itu, mereka juga meminta seluruh pihak untuk menghormati Hukum Kemanusiaan Internasional.

(mtd/min)