Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito. (Ist)

medanToday.com, JAKARTA – Kegiatan mengundang kerumunan berpotensi terjadinya penularan Covid-19, bahkan melahirkan klaster baru di berbagai daerah. Ini menunjukkan bahaya penularan Covid-19 masih terjadi.

“Berdasarkan data nasional, terdapat berbagai kegiatan kerumunan berdampak pada timbulnya klaster penularan Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia,” ucap Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito saat memberi keterangan pers perkembangan penanganan Covid-19 di Kantor Presiden, Kamis (26/11).

Wiku merincikan, kejadian beberapa waktu lalu pada Sidang GPIB Sinode menghasilkan 24 kasus di lima provinsi. Klaster ini berawal dari kegiatan agama yang diikuti 685 peserta di Bogor, Jawa Barat. Kemudian berkembang dan menyebar ke provinsi Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat.

Berikutnya, klaster kegiatan Bisnis Tanpa Riba menghasilkan 24 kasus di tujuh provinsi dan menimbulkan korban jiwa sebanyak 3 orang atau case fatality rate kasus ini mencapai 12,5 persen. Sama seperti GPIB Sinode, klaster ini berawal dari kegiatan yang diikuti 200 peserta di Bogor. Kasus ini berkembang dan menyebar ke Lampung, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Papua.

Selajutnya di Lembang, Jawa Barat, terdapat klaster Gereja Bethel. Kegiatannya melibatkan sekitar 200 peserta dan menghasilkan 226 kasus dengan infection rate mencapai 35 persen. Lalu, klaster Ijtima Ulama di Gowa, Sulawesi Selatan, dengan total peserta 8.761 orang sehingga menghasilkan 1.248 kasus di 20 provinsi. Dan klaster Pondok Pesantren Temboro di Jawa Timur menimbulkan 193 kasus di enam provinsi dan lebih dari 14 kabupaten atau kota serta satu negara lain.

“Jadi tidak heran bahwa klaster itu terjadi karena adanya kerumunan di masyarakat. Karena mereka akan sulit menjaga jarak,” imbuh Wiku.

Fenomena klaster kerumunan juga pernah terjadi saat kapal pesiar besar Diamond Princess yang mengangkut 2 sampai 4 ribu penumpang dan harus dikarantina di Jepang pada Februari 2020. Saat itu kondisi di dalamnya penuh sesak dan sulit menjaga jarak. Akibatnya, sebesar 17 persen dari 3.700 penumpang dan awak kapal terinfeksi Covid-19.

Berbagai pengalaman ini, lanjut Wiku, sesuai penelitian dari Ibrahim dan Memish pada tahun ini menyatakan kemungkinan adanya hubungan dua arah antara kerumunan dan penyebaran penyakit menular. “Ini penting menjadi perhatian publik bahwa kondisi kerumunan itu harus dihindari,” jelasnya.

Dampak dari kerumunan berpeluang besar menjadi 3T, yaitu testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan) dan treatment (perawatan) yang harus dilakukan segera dan menyeluruh. Karena, periode inkubasi antara terpapar virus dan gejala rata-rata hanya lima hari. Dan gejala dapat muncul dua hari kemudian.

“Jika bisa disimpulkan ada waktu sekitar tiga hari terhadap kontak erat itu dilacak. Dan diisolasi segera, sebelum terus melanjutkan penularan ke lingkar lebih luas lagi. Saya minta kesadaran dan kerjasama untuk tidak berkerumun. Karena apa yang kita semai, inilah yang akan kita tuai. Jangan gegabah dan egois,” imbaunya. (mtd/min)