Ada satu sapaan yang belakangan populer di Medan: ketua. Sapaan ini pada mulanya merujuk kepada seseorang yang memimpin suatu organisasi kemasyarakatan, terutama organisasi kepemudaan atau yang lebih dikenal dengan akronim OKp.
Bila seorang ketua hadir dalam suatu perkumpulan, orang-orang yang telah berkumpul lebih dahulu akan menyapanya dengan “ketua”. Misalnya: “Dari mana, Ketua? Kami tunggu-tunggu ketua dari tadi.”
Belakangan, sapaan ketua ini merembes ke luar dari fungsi dan makna dasarnya. Jika awalnya sapaan itu hanya tertuju pada seseorang yang benar-benar menjabat sebagai ketua (pemimpin), sekarang tidak. Siapa saja bisa disapa “ketua”. Di pasar, dalam suasana sepi pelanggan, para pedagang yang sedang bercakap-cakap akan saling menyapa dengan “ketua” satu sama lain.
Di terminal, saat jeda istirahat makan siang, seorang sopir angkot bisa menyapa dan disapa ketuakepada siapa saja dan oleh siapa saja. Bahkan di lingkungan universitas pun, dosen A akan menyebut dosen B dengan sapaan ketua; dan sebaliknya.
Sapaan ketua itu tak tertutup pula bagi mereka yang merupakan anggota ormas, termasuk mereka yang sebenarnya cuma anak buah atau berstatus sebagai anggota biasa, terutama sepanjang penyapaan itu tidak dilakukan dalam lingkup pertemuan dari organisasi mereka atau setidak-tidaknya tidak di hadapan ketua mereka.
Bahkan, saking populernya, sapaan ketua ini terkadang menggeser posisi sapaan “bung” dan “bang”, yang telah identik dengan gaya Medan sejak lama.
Representasi Mental
Jika diperhatikan, ada pergeseran makna yang terjadi secara harfiah dalam penggunaan sapaan ketua. Sapaan ketua dalam hal ini mengandung banyak unsur. Di antaranya adalah unsur seloroh.
Orang-orang di Medan akan dengan enteng mengucapkan kata “ketua” kepada siapa saja, bukan karena bermaksud menganggotakan/menganakbuahkan diri kepada orang itu, tetapi hanya sebatas sapaan belaka yang dirasa lebih akrab.
Tetapi apakah cuma itu? Tidak. Sapaan ketua secara implisit juga mengandung unsur sarkasme (sindiran) yang kurun waktu tertentu terakumulasi dan mengkultur terhadap situasi atau atmosfer tradisi keberorganisasian di Kota Medan. Dalam hal ini, organisasi yang dimaksud terutama sekali adalah OKp.
BACA JUGA :
Hegemoni keberadaan OKP di Kota Medan, dengan rupa-rupa lakunya, lambat laun dicerap menjadi bagian dari kultur, termasuk salah satunya sapaan ketuasebagai manifestasinya. Pada titik ini, OKP bukan hanya hadir dengan sebuah wujud (dengan orang-orang ramai berkumpul memakai seragam loreng-loreng), melainkan juga sebagai mental, yang kira-kira –tanpa bermaksud mendiskreditkan– bisa disebut dengan “mental ke-OKP-an”.
Mental ke-OKP-an ini tidak hanya dicerap dan dilakonkan oleh mereka yang sehari-harinya bergaul dalam tataran kehidupan pasaran (misalnya di warung kopi, atau di terminal, atau di tempat-tempat perkumpulan wartawan, LSM, polisi dan sejenisnya), tetapi juga oleh mereka yang sejatinya berada di luar lingkup itu: anak sekolah, pengajar, PNS, pegawai BUMN, dan lain-lain.
Maka tak mengherankan lagi, bila ada seorang kepala dinas (misalnya kepala dinas pendidikan) di Kota Medan menyapa maupun disapa ketua oleh, misalnya, Ketua DPRD Medan. Lebih lanjut, sapaan ketua ini tidak hanya terbatas pada persoalan semantik. Ia mencakup pula apa yang disebut dengan representasi mental dan budaya.
Pada setiap penuturnya terdapat pengertian mengenai peran makna psikologis dan sosiolinguistik. Ferdinand de Saussure, filsuf bahasa asal Perancis, menyebut bahwa bahasa (bicara) bukanlah sekadar hal yang didengar atau diinderai, melainkan juga sesuatu yang abstrak.
Artinya, kesatuan-kesatuan dalam bahasa itu ditentukan oleh sistem nilai yang melekat padanya. Sebagai analogi, dalam permainan catur, bila kita misalnya mengganti biduk gajah dengan sebuah batu, tetapi disepakati bahwa batu itu bernilai gajah, maka permainan catur tetap dapat dilangsungkan.
Dalam hal ini, pesan di balik bahasa tidak tergantung pada bagaimana pesan itu berwujud. Bahasa, menurut Saussure, terdiri dari kesatuan-kesatuan yang membawa nilai-nilai itu.
Willard van Orman Quine, dalam bukunya yang berjudul Word & Object, menyebut bahwa relasi kata dan objek diawali dengan sesuatu yang sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Setiap penggunaan kata seolah menggambarkan penggunaan bahasa yang umum secara tepat. Penggunaan itu ditanamkan ke dalam diri seseorang melalui kebiasaan sebagai bagian dari masyarakat.
Sementara Fern Johnson, dalam Komunikasi dan Kebudayaan, menyebut bahwa seluruh aktivitas komunikasi berlangsung dalam kerangka kerja budaya; semua individu mengolah pengetahuan kebudayaan yang mereka miliki untuk berkomunikasi.
Perbaiki Citra OKP
Keberadaan OKP di Medan sendiri bukanlah hal yang baru. Bahkan ada anekdot yang mengatakan bahwa Medan adalah kota OKP; sarangnya OKP. Dari situ pulalah saya kira mental ke-OKP-an itu muncul. Karena saking ramainya, masyarakat non-anggota OKP pun tak jarang berlagak (bertutur dan sebagainya) seperti anggota OKP.
Munculnya mental ke-OKP-an di tengah masyarakat ini perlu menjadi perhatian bersama, khususnya bagi pemerintah dan OKP-OKP itu sendiri. Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa sapaan “ketua”, setidaknya sejauh ini, memiliki konotasi yang cenderung mengarah kepada premanisme atau kehidupan pasaran.
Tidak masalah memang jika mental itu hanya terhenti pada tataran sapaan. Akan tetapi, perlu diperhatikan juga bagaimana perkembangan mental itu dalam tataran tindakan. Misalnya di jalan raya. Cobalah saksikan bagaimana para pengendara di Kota Medan memiliki kecenderungan untuk melanggar aturan lalu lintas dan saling tidak mau mengalah; dan masih banyak contoh lainnya.
Artinya, tanpa bermaksud menuding dan mendeduksi (mengeneralisir), corak mental tersebut harus dipikirkan secara serius. Untuk OKP-OKP, terutama para ketuanya, tentu tak ingin dianggap sebagai biang dari munculnya mental ini. OKP perlu memperbaiki citranya di mata masyarakat, agar konotasi negatif yang dilekatkan oleh masyarakat itu dapat hilang.
=============
Penulis : Abul Muammar
Jurnalis & Mahasiswa Pasca Sarjana UGM,Yogyakarta