medanToday.com, MEDAN – Para pengiat teater dan seniman di Sumatera Utara (Sumut) akan menggelar Malam Renungan Teater (MRT) 2017. Kegiatan tersebut rencananya akan dilaksanakan pada Jumat sampai dengan hari Minggu dari tanggal 29-31 Desember di Taman Budaya Sumatera Utara.
Ketua Malam Renungan Teater yang juga seniman di Teater Rumah Mata, Agus Susilo mengatakan, tujuan utama digelarnya malam renungan itu untuk membangun ruang komunikasi antar kelompok/pelaku teater di Sumatera Utara dan melahirkan kembali Forum Komunikasi Teater Sumut.
“Kegiatan ini juga untuk menjalin komunikasi kreatif untuk menumbuhkembangkan budaya proses, literasi teater dan pertunjukan serta festival teater di Sumut,” katanya, Jumat (8/12).
Di tengah perkembangan pusaran arus informasi dan teknologi dewasa ini, menurut Agus penting juga untuk memunculkan ruang bersama menyusun langkah yang strategis dan sistemik dalam mengembangkan teater Sumut serta membangun ruang bersama antara teater dengan penonton.
Di mana lanjutnya, kegiatan ini juga berupaya untuk memberikan edukasi teater ke generasi muda Sumut yang multietnik dan memberikan pemahaman tentang potensi ekonomi kreatif dalam kerja-kerja produksi teater.
Apabila tidak dilakukan, ia khawatir kegemilangan dan kejayaan teater dalam rentangan 6 dasawarsa akan amblas.
Ia menjelaskan, teater tumbuh dan berkembang di Sumatera Utara sebelum masa kemerdekaan Republik Indonesia. Kehadiran teater di Sumut ditandai dengan beberapa teater Makyong, Tembut-tembut, Hoda-hoda, Mangkudai-kudai dan lainnya.
Pada tahun 1933, teater modern pun muncul di Sumut. Hingga tahun 1940-an, ada 8 kelompok teater besar yang dikenal. Sehingga, tak heran Medan ramai dikunjungi rombongan Opera Stambul dari Malaysia. Saat itu Jepang menduduki Indonesia.
Kelompok-kelompok teater yang ada di Sumut pun beradaptasi dengan keinginan Jepang agar tetap bertahan dengan mengubah nama kelompok mereka menjadi berbau Jepang.
“Tokoh-tokoh di era ini ada Miss Dja, Piedro, Anjas Asmara, Bachtiar Effendy, M. Saleh Umar (Surapati) dan lain-lainnya,” terang Agus.
Di awal kemerdekaan lanjutnya, pertumbuhan teater di Sumut sangat pesat. Tak hanya di Medan saja. Bak jamur, kelompok teater pun bermunculan di seluruh Kabupaten/kota. Teater bukan hanya sebagai media pertunjukan seni, tetapi juga digunakan sebagai arena menyampaikan pesan-pesan perjuangan.
Bahkan sebelum agresi Belanda I atas inisiatif Bachtiar Siagian dan Derita Sp diadakanlah Konferensi Sandiwara se Sumatera Timur di Tebing Tinggi yang dihadiri 30 kelompok.
“Topik konferensi ini adalah peran sandiwara dalam mempertahankan kemerdekaan. Di masa ini teater banyak digerakkan oleh orang-orang yang bekerja di dunia jurnalistik. Festifal Drama ke I diadakan pada Januari-Februari 1957 di Gedung Kesenian Jalan Veteran 2 Medan dengan ratusan peserta group teater dari seluruh kabupaten/kota di Sumut. Setelah ini, Kota Medan selalu ramai dengan kegiatan pementasan drama,” ungkapnya.
Kemudian banyak lahir tokoh teater dan penulis naskah. Melihat perkembangan teater yang sangat pesat, Kantor Pembinaan Kesenian Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melangsungkan Pekan Diskusi Teater I se Sumatera Utara pada 18 – 30 September 1971 di Gedung Kesenian Jalan Veteran Medan.
Di perhelatan ini ditampilkan pertunjukan 5 kelompok teater yang dipandang kuat di era itu ; Teater Nasional (Tena), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Teater PWI, Actor Studio, dan Teater Badan Koordinasi Pekerja
Budaya (BKPB) Langkat.
Beroperasinya TVRI Medan pada tahun 1970 memberi warna tdan dampak besar bagi perkembangan teater di Sumut. Kelompok-kelompok teater sering mementaskan karya-karya mereka di studio TVRI. Maka pada tahun 1972 Kepala TVRI Medan berinisiatif mengadakan Festival Seni Drama Sumatera Utara II.
“Di tahun 1970-an, berdasarkan inventarisasi Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud Sumatera Utara, ada sekitar 38 kelompok teater yang intens berkreatifitas dalam menghasilkan karya. Belum lagi lahirnya puluhan kelompok teater baru. Pada masa itu tercatat pula ada 25 penulis naskah drama yang aktif berkarya dan masih banyak lagi seniman yang tidak terekam dalam catatan,” papar Agus.
“Banyak tokoh teater yang lahir di tahun 1930 – 1970 ini, sebut saja Arif (King) Husin Siregar, Ani Idrus, Usman Siregar, Muhammad TWH, Amarullah O. Lubis, Delisma Siregar, Rustam Effensi, Abdul Aziz Harahap, Tim Anwar, Sitor Situmorang, Nuriah D. Sori Siregar, Rusly Mahadi, Burhan Piliang, Mazward Azham, Iskak S, Toguan Harjo, Johan A. Nasution dan masih banyak lagi,” timpalnya.
Pada 1 Januari 1982 berdiri Badan Musyawarah Teater Sumut di bawah pimpinan Zulkifli Chan sebagai wadah mengkoordinir seluruh teater di Sumut. Pada 1 Januari 1989 BMKT Sumut berubah menjadi Forum Komunikasi Teater Sumatera Utara diketuai Syaiful Anwar.
Tahun 1991, FKTSU diketuai Amirudin AR dan intens melakukan berbagai kegiatan seperti Dapur Teater, Malam Renungan Teater, Wisata Karya Teater Sumatera Utara, Penerbitan Buletin Teater, dan lain sebagainya. Di era 1990-an ini tercatat ada 108 kelompok teater di Sumut.
Berangkat dari situlah kemudian, seniman-seniman di Sumatera Utara berkeinginan untuk menyelenggarakan lagi Malam Renungan Teater sebagaimana pernah dilakukan di era 1990-an.
“Di sini nanti akan ada diskusi teater, Workshop teater, pameran arsip dan dokumentasi teater di Sumut, pertunjukan teater, launching pencetakan buku MRT Sumut, musyawarah pimpinan kelompok, malam renungan teater, kemah teater dan banyak lagi,” tandasnya.(mtd/bwo)
========================================================