medanToday.com, JAKARTA – Jaksa Agung HM Prasetyo mengapresiasi operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim di Medan. Hal tersebut, kata Prasetyo, merupakan bentuk sinergitas penegakan hukum.
“Kami berikan apresiasi kepada KPK, ini adalah bukti sinergitas penegak hukum yang ada,” ujar Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (31/8/2018).
Kejaksaaan, kata Prasetyo, saat ini tengah menangani kasus dugaan perampokan aset negara berupa tanah 160 hektar milik PTPN II. Selanjutnya, kasus tersebut akan segera diimpahkan ke pengadilan. “Nah, di situ nampaknya KPK mengawal apa yang sedang kita lakukan dan sedang kita proses itu, hasilnya seperti itulah,” katanya.
Kendati, secara kelembagaan Prasetyo mengaku prihatin atas penangkapan Hakim Adhoc Tipikor pada PN Medan tersebut. Dia berharap, hal serupa tidak kembali menimpa aparat penegak hukum.
“Kami harapkan ke depan akan semakin baik semuanya, jaksa, hakim, dan polisinya semuanya semakin baik agar bangsa ini jadi lebih baik dan proses hukum bisa dijalankan dengan baik, objektif dan transparan serta professional,” Prasetyo menandaskan.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus OTT suap yang melibatkan hakim di PN Medan. Keempat tersangka terdiri dari pihak penerima yakni Hakim Adhoc Tipikor PN Medan Merry Purba dan panitera pengganti PN Medan Helpandi serta pihak pemberi yakni Tamin Sukardi selaku pemilik PT Erni Putra Terari dan orang kepercayaannya, Hadi Setiawan.
KPK sudah menahan Merry Purba, Helpandi dan Tamin, namun Hadi Setiawan belum ditemukan. Merry diduga menerima uang senilai total 280 ribu dolar Singapura (sekitar Rp 3 miliar) dari Tamin terkait dengan perkara korupsi yang dilakukan Tamin yaitu korupsi lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II.
Tamin menjual 74 hektar dari 126 hektar tanah negara bekas HGU PTPN II kepada PT Agung Cemara Realty (ACR) sebesar Rp 236,2 miliar dan baru dibayar Rp 132,4 miliar. Berdasarkan putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018, Tamin dihukum 6 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 132 miliar.
Vonis itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yang meminta Tamin divonis 10 tahun pidana penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 132 miliar.
KPK mengidentifikasi penggunaan sandi dan kode “pohon” berarti uang dan kode nama hakim seperti “ratu kecantikan”. Merry dalam komunikasinya diketahui mendukung penuh permintaan Tamin untuk pengurangan hukuman. (mtd/min)
=================================