medanToday.com, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Dwi Ria Latifa menilai, korupsi di lembaga peradilan yang masih terjadi karena masalah mental dan kebiasaan buruk.
Selama persoalan mental belum diselesaikan, menurut dia, korupsi masih akan terus terjadi. Apalagi, masih ada celah-celah korupsi.
“Kembali pada masalah mental dan sistem yang lebih masif dan menutup peluang-peluang untuk menutup peluang-peluang tindakan korupsi,” ujar Dwi Ria saat dihubungi, Jumat (8/9/2017).
Kesejahteraan hakim diakuinya belum merata, terutama di daerah-daerah. Banyak hakim yang tak memiliki rumah serta gaji yang tak memadai.
Meski demikian, menurut Dwi Ria tak bisa dijadikan alasan utama. Sebab, hakim-hakim yang melakukan korupsi justru bukan hakim yang mengeluhkan gaji tersebut.
“Justru yang kita lihat yang melakukan tindakan korupsi berada di lingkup peradilan yang di kota-kota. Makanya, kembali pada masalah mental dan sistem yang lebih masif dan menutup peluang-peluang untuk tindakan korupsi,” ujar Dwi Ria.
Berkaitan dengan sistem, Dwi Ria mengaku kerap mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk secara serius memerhatikan daerah. Sebab, korupsi tak hanya banyak di pusat, tetapi juga di daerah.
“Dampaknya sekarang, saya yakini KPK betul-betul turun ke daerah makanya banyak sekali kepala daerah yang tertangkap,” kata dia.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), M Nasir Djamil mengatakan, selain pembinaan karir, perlu diadakan pembinaan mental bagi para calon hakim.
Menurut dia, hal itu perlu dilakukan agar para hakim memiliki pola pikir dan pola sikap yang mendukung reformasi di tubuh MA.
Komisi Yudisial (KY) juga diminta mampu merumuskan hal yang konkret soal konsep untuk menjaga keluhuran dan martabat hakim.
“Konsep bagaimana agar pengawasan dan pembinaan dalam rangka menjaga martabat dan keluhuran hakim itu bisa dilakukan,” ujar Nasir.
KPK telah menetapkan hakim anggota Pengadilan Negeri Tipikor Bengkulu Dewi Suryana, panitera pengganti di PN Tipikor Bengkulu Hendra Kurniawan, dan seorang PNS bernama Syuhadatul Islamy sebagai tersangka dalam kasus ini.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, setelah melakukan pemeriksaan 1×24 jam dilanjutkan gelar perkara, disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan janji atau hadiah.
“Maka KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan serta menetapkan tiga orang tersangka yaitu DSU, HKU, dan SI,” kata Basaria.
Sebagai pihak yang diduga penerima suap, DSU dan HKU disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c dan/atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara sebagai pihak yang diduga sebagai pemberi suap, SI disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a atau b dan/atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(MTD/MIN)