Pajak e-commerce Bisa Pakai NPG BI

0
295
Direktur Eksekutif Pusat Program Transformasi Bank Indonesia (PPTBI) Onny widjanarko (kiri) bersama Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran (DKSP) BI Eni panggabean (kanan) memberikan keterangan pers tentang penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 19/8/PBI/2017 mengenai penetapan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) atau National Payment Gateway (NPG) di Jakarta, Kamis (6/7). BI menetapkan kebijakan GPN NPG melalui interkoneksi switching untuk mewujudkan interoperabilitas sistem pembayaran nasional. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/Spt/17
Direktur Eksekutif Pusat Program Transformasi Bank Indonesia (PPTBI) Onny widjanarko (kiri) bersama Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran (DKSP) BI Eni panggabean (kanan) memberikan keterangan pers tentang penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 19/8/PBI/2017 mengenai penetapan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) atau National Payment Gateway (NPG) di Jakarta, Kamis (6/7). BI menetapkan kebijakan GPN NPG melalui interkoneksi switching untuk mewujudkan interoperabilitas sistem pembayaran nasional. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/Spt/17

medanToday.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemkeu) segera mengeluarkan peraturan menteri keuangan (PMK) mengenai pajak untuk bisnis jual beli online (e-commerce) dalam waktu dekat. Bahkan, Bank Indonesia (BI) mengaku siap mendukung kebijakan itu.

Dukungan terutama jika pemerintah ingin mengadopsi model pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) di transaksi e-commerce seperti di negara lainnya, yakni dengan menggunakan National Payment Gateway (NPG).

Pemungutan PPN e-commerce via NPG bakal lebih mudah terlaksana. Pasalnya, seluruh bank, payment gateway, dan jasa pembayaran lainnya terkoneksi dengan Lembaga Switching NPG. Oleh karena itu, dengan NPG, data-data transaksi domestik secara elektronik di Indonesia akan terekam.

Nah, data-data tersebut dapat digunakan untuk pengaturan dan pengawasan, perlindungan konsumen, serta untuk hal lainnya yang diminta UU atau ketentuan lainnya. “Data-datanya juga bisa digunakan untuk perpajakan,” kata Kepala Pusat Program Transformasi BI Onny Widjanarko kepada KONTAN, Kamis (12/10/2017).

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, idealnya pemilik toko atau yang berjualan sebagai wajib pajak pemungut (WAPU) PPN. Apabila skema itu digunakan, maka setiap marketplace harus melakukan deklarasi dan pajaknya bisa dilihat dari setiap pembayaran konsumsi via payment gateway. “Tapi bukan pemilik platform. Bisa dimasukkan kepayment gateway include PPN,” jelas Yustinus.

Menurut Yustinus, cara ini lebih mudah dibandingkan dengan kabar yang berkembang selama ini bahwa jasa kurir bakal bertindak sebagai WAPU PPN e-commerce. Jika jasa kurir sebagai WAPU, dikhawatirkan akan mendorong modus baru, yakni penyerahan barang secara langsung dan bayarnya juga tunai.

Direktur Peraturan Perpajakan Ditjen Pajak Kemkeu Arif Yanuar menyatakan, diskusi di tataran Kemkeu sampai saat ini yang masih menjadi pembahasan adalah siapa pihak yang memungut dan siapa pihak yang menyetor. “Apakah pihak marketplace atau penerima pembayaran? Masih jadi pembahasan kami,” katanya.

Oleh karena itu Ditjen Pajak menjanjikan, sebelum PMK keluar, pihaknya bakal mencari masukan dari pelaku usaha. Dengan demikian, aturan pajak tersebut tidak merugikan pebisnis e-commerce yang saat ini tengah berkembang.

“Kami rencana dalam minggu ini, sedang komunikasi dengan pelaku usaha untuk mencari waktu,” terang Arif.

Co Founder and CFO Bukalapak M Fajrin Rasyid mengharapkan, audiensi tersebut bisa segera terlaksana dan Ditjen Pajak benar-benar melaksanakan masukan dari pelaku e-commerce. Mengingat, ada poin penting yang perlu difasilitasi oleh aturan pajak tersebut, yakni kesetaraan.

Menurut Fajrin, apabila berbicara e-commerce, yang paling besar bukan marketplace atau platform e-commerce, tapi yang berjualan di Instagram dan Facebook yang selama ini tidak terjangkau perpajakan. Apabila ada aturan pajak yang sangat mengekang e-commerce, dikhawatirkan terjadi perpindahan penjual.

“Khawatir eksodus, lebih memilih jualan di Instagram saja karena kalau jualan di Bukalapak ribet pajaknya. Mending jualan di Instagram dan Facebook karena itu tidak terkontrol, tidak terkejar (pajak),” jelas Fajrin.

Oleh karena itu, Fajrin menegaskan perlu ada kebijakan yang setara. Tidak hanya sekadar online dan offline, tapi juga sesama online seperti platform jualan dan sosial media.

Fajrin juga menyarankan, strategi alternatif bahwa marketplace akan jadi WAPU PPN masih perlu dibicarakan lagi. Soalnya, hal itu bisa berefek negatif bagi marketplace, yakni ditinggalkan penjual.

(mtd/min)