DINAMIKA kebudayaan (ide, aktivitas dan material) kian kompleks ditandai kesemarakan kualitas, kuantitas dan persebaran informasi dewasa ini.

Akibatnya disrupsi budaya menjadi satu kondisi yang tak terelakkan lagi. Inovasi teknologi komunikasi informasi sebagai salah satu penanda era ini bergerak secara non-linier dan tempo percepatan tinggi. Arus akselerasi era percepatan ini kian merembes ke pelbagai lini sosial. Standar moral dan etika mapan terlihat tak bertaji saat berhadapan langsung (head to head) dengan era digitalisasi dan disrupsi budaya sekarang ini.

Situasi seperti sekarang pernah diramalkan Alvin Toffler (Future Shock, 1970), kejutan budaya (culture shock) yaitu petunjuk psikologis dan norma sosial yang telah dikenal selama ini serta membantu individu berperan fungsi dalam masyarakat mendadak sirna. Nilai dan pemaknaan lama berganti dengan nilai dan pemaknaan baru, praktiknya ‘sesuatu yang baru’ namun ganjil dan tak dapat dimengerti. Orang-orang seperti memasuki matra baru tanpa berbekal kompas dan peta wilayah, akibatnya terjadi kebingungan.

Dampak negatif disrupsi dan kejutan budaya membuat orang-orang teralienasi kebudayaannya sendiri. Kebudayaan sebagai kesatuan antara kesadaran dan nirsadar (ideofact), prilaku (sosiofact) dan material (artefact) semakin tak dikenali oleh para pemilik budaya itu sendiri ((Roosseno, 2018). Misalnya, ketika anak remaja hari ini lebih mengasosiasikan diri sebagai bintang K-Pop (penyanyi/artis drama pop Korea) atau tokoh kartun manga (kartun asal negara Jepang) ketimbang bangga dengan nilai kepahlawanan dari cerita-cerita rakyat (folklore) tanah air sendiri. Ini adalah kontradiksi internal berkebudayaan yang perlu diantisipasi sejak dini.

Gaya berkomunikasi pun tak luput dari perubahan tersebut. Saling caci-maki di media sosial sudah biasa tanpa memandang usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan latar belakang sosial. Persebaran berita bohong (hoax), anarkisme ide dan pemaknaan kultural, kekerasan di lingkungan pendidikan serta merosotnya kepercayaan terhadap konsensus sosial kian menjamur. Di era banjir informasi ini, setiap informasi klaim kebenaran masing-masing. Setiap klaim kebenaran itu saling bertabrakan, ini perlu diantisipasi sedini mungkin, sebelum bergerak lebih jauh lagi.

Folklore & Strategi Kebudayaan

Dari sekian banyak khazanah kebudayaan Indonesia, folklore (tradisi lisan) adalah salah satu paling kaya jenisnya dan dimiliki setiap suku bangsa di tanah air. Hal paling menarik dari tradisi lisan adalah setiap darinya tumbuh dan berkembang dalam memori kolektif masyarakat pemiliknya. Bila pun beririsan dengan tradisi lisan dari masyarakat lain (di luar mereka), namun tak mengurangi ‘rasa memiliki’ (sense of belonging) masyarakat tersebut. Ini merupakan potensi pembangun soliditas dan kepercayaan diri tiap-tiap daerah di Indonesia. Bila diberdayakan akan berdampak positif pada pertumbuhan karakter tiap daerah. Dampak positif ini akan berkontribusi terhadap penguatan karakter nasional selama prosesnya dipandu strategi kebudayaan nasional berparadigma kebangsaan, strategis serta visioner.

Tantangannya adalah tradisi lisan hari ini belum hadir atau kehilangan peran vital di tengah kehidupan masyarakat. Berkaca dari kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan (tahun 2002), kalahnya Indonesia di Mahkamah Internasional disebabkan faktor penggunaan bahasa daerah Melayu khas Malaysia oleh masyarakat di kedua pulau tersebut. Ini perlu dijadikan pelajaran penting mengenai peran vital tradisi lisan (bahasa daerah, termasuk di dalamnya) di berbagai lini konteks. Seperti diketahui, tradisi lisan adalah sarana merawat dan mewariskan pengetahuan termasuk bahasa daerah.

Sebagai langkah awal, kegiatan ini mesti diinisasi pemerintah daerah dan/atau pemerintah pusat. Secara peraturan perundang-undangan, praktis telah ada Undang-undang nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mengatur hal tersebut. Dalam Undang-undang ini, pemajuan kebudayaan dilakukan dengan beberapa upaya yaitu pelindungan, pengembangan, pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan, serta pembinaan terhadap sumber daya manusia kebudayaan. Tujuan pemajuan untuk meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia.

Pemerintah pusat, dalam hal ini dikoordinatori Dirjen Kebudayaan, dapat membentuk tim perumus strategi kebudayaan nasional yang bertugas supervisi kegiatan penggalian dan pendokumentasian tradisi lisan. Lalu ditindaklanjuti pemerintah daerah dengan membentuk tim penggalian dan dokumentasi tradisi lisan di daerah masing-masing. Dalam semua proses wajib melibatkan para pemangku kepentingan (akademisi, narasumber dan masyarakat pemilik tradisi lisan). Dalam kurun batas pengerjaan tertentu, hasil penggalian tradisi lisan didokumentasikan dalam bentuk buku. Selanjutnya, buku-buku ini dibagikan sebagai materi kurikulum pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah di daerah bersangkutan.

Jelas ini bukan satu-satunya langkah revitalisasi tradisi lisan sebab sekedar membagikan buku berisi cerita rakyat sudah sering dilakukan. Langkah awal ini masih sebatas pijakan dasar meski tetap strategis sebagai entitas makna wacana-tanding (counter-discourse) penyeimbang arus zaman. Penyusunan strategi kebudayaan adalah kerja strategis, berkelanjutan serta terarah.

Revitalisasi & Pemajuan Kreativitas

Setelah memahami apa dan mengapa tradisi lisan semakin penting dalam situasi dan kondisi kebudayaan hari ini, selanjutnya adalah bagaimana bentuk revitalisasi tradisi lisan yang cocok dengan situasi kekinian? Seperti telah disinggung di awal, era digitalisasi memerlukan pendekatan berbeda dari sebelumnya. Kecanggihan bentuk dan medium diperlukan menjawab tuntutan zaman sehingga memperoleh penerimaan khalayak ramai.

Para pemangku kepentingan (stakeholder) perlu mendorong para pegiat film melirik tradisi lisan sebagai sumber inspirasi. Boleh film panjang atau film pendek dan tayang di bioskop, televisi nasional bahkan di media sosial. Sajian menarik dan kreatif lewat film bisa diterima secara signifika oleh resepsi publik. Cara ini efektif merujuk kesuksesan film-film layar lebar yang mengangkat cerita atau tokoh dalam negeri sendiri. Sayangnya, tak sedikit pihak enggan bahkan remeh terhadap efektifitas budaya pop sebagai kanal persebaran informasi.

Memang belum bisa dibandingkan dengan tren industri film raksasa asal luar negeri yang belakangan ini serius menggarap film yang terinspirasi tradisi lisan. Sebut saja misalnya, film Lord of The Rings: The Return of The King (2003) yang berbiaya Rp. 832 juta mampu meraih keuntungan Rp. 10,5 triliun. Padahal bila film ini dianalisis, banyak figur dan penceritaannya yang sangat cocok dengan tradisi lisan masyarakat Nusantara. Tokoh Hobbit misalnya, sosok manusia kerdil ini dikenal dengan sebutan ‘orang bunian’ atau umang menurut cerita rakyat asal Sumatera Utara. Pertanyaannya, mengapa kita tak melakukan hal serupa?

Pemajuan kebudayaan tentu tak cukup mengembangkan bentuk-bentuk luaran kebudayaan saja. Hal ini meliputi pengembangan dan pemajuan ide, aktivitas dan materi kebudayaan. Kebudayaan adalah ekosistem yang saling melengkapi satu sama lain, kebudayaan juga perangkat aplikatif (living culture) berkehidupan. Konsistensi ini akan berdampak peningkatan kapasitas ketahanan budaya serta kualitas kreativitas sumber daya manusia termasuk ekonomi-kreatif berkelanjutan.

Bangsa ini tak boleh terus lengah mengamati arus percepatan perubahan zaman. Kita belum terputus total dengan memori kolektif masa lalu, bukan secara ekstrem hendak kembali ke masa lalu. Ibarat busur dan anak panah, semakin tali peregang busur ditarik jauh ke belakang maka semakin jauh anak panah melesat ke depan. Tak ada jalan kembali, kita perlu terus memantapkan langkah menyongsong masa depan dengan optimis. Salah makan, muntahkan. Salah jalan, kembali ke pangkal.

=================

Penulis merupakan Pendiri Sekolah Estetika