Rasakan Rasa EKSTASE KOPI di Puncak Gunung Sibayak

Oleh Nona Sitorus

0
1089
Sejumlah petani, penggiat dan penikmat kopi foto bersama di Gunung Sibayak,Sabtu (4/11). MTD/Andri Ginting

Kenapa air dimasak..?
Karena ada kopi yang mau di seduh

Sepenggal kalimat tersebut menjadi awal kegiatan “Sidang Kopi Gunung” yang berlangsung di puncak Gunung Sibayak (2.212 Mdpl), Kabupaten Karo, akhir pekan lalu yang di inisiasi oleh medanToday.com dan para pegiat kopi di Medan.

Duduk beralaskan matras di bawah temaram cahaya lampu seadanya, belasan pemuda pemudi mulai dari Petani, Pegiat Kopi hingga penikmat kopi bergabung melakukan aktifitas camping bersama di Gunung Sibayak,Karo.

Uap kopi panas tampak mengepul dari cangkir mereka, aroma semerbak membuat kebengisan dunia di perkotaan sejenak terlupakan, jiwa terasa dipulihkan oleh iman kepada pengharapan.

Peserta “Sidang Kopi Gunung” menyiapkan menu makan di Gunung Sibayak, Sabtu (4/11). MTD/Andri Ginting

Waktu menunjukkan pukul 00.15 dini hari, angin bertiup begitu kencang menebarkan rasa dingin yang menusuk tulang. Sementara bulan terlalu lemah untuk bersinar sesekali muncul di balik awan yang sangat cepat berganti muncul-tenggelam.

Hanya arena dansa tempat menari para butir serbuk kopi, yang memberikan kehangatan melalui putarannya.

“Bagaimana kita bisa menjadikan minum kopi tidak hanya sebatas tren. Meminum kopi bukan karena dikondisikan, tetapi alamiah mengalir begitu saja,” ujar Ahmad Arief Tarigan, seorang pengamat budaya dan penikmat kopi.

Kembali ke masa kerajaan Usmaniyah, di tahun 1656, dimana Wazir dan Kofri, mengeluarkan larangan untuk membuka kedai-kedai kopi. Bukan hanya melarang kopi, tetapi menghukum orang-orang yang minum kopi dengan hukuman cambuk pada pelanggaran pertama.

Bersyukur lah kita tidak menjadi warga negara Swedia saat Raja Gustaff ke-II masih berkuasa. Ia pernah menjatuhkan hukuman terhadap seorang peminum kopi.

“Saya rasa kopi adalah bagian dari ketidakadilan, apakah tren kopi berakhir, para penikmat kopi juga akan ikut berakhir,” Ucap Willie Sembiring, seorang petani Kopi dari Tanah Karo.

Peserta Sidang Kopi Gunung saat mendaki Gunung Sibayak, Sabtu (4/11). MTD/Andri Ginting

Willie menambahkan bahwa di Indonesia hanya 50 persen masyarakat Indonesia yang benar benar penikmat Kopi.

“Di Jawa sudah terasa sekali, kopi agak sedikit diklaim, dan tidak lebih dari 50 persen orang Indonesia yang benar-benar real penikmat kopi,” tambah Willie.

“Tahun 1994, hampir seluruh perkebunan di Indonesia khususnya coklat ditebang. Di tahun 1800an tren kopi sempat booming di Eropa, lalu kemudian hilang,” Ungkap Willie.

“Hari ini kopi, kemaren cengkeh, ditebang lalu ditanam lagi. Kondisi ini adalah penghantar untuk sampai kepada peminum dan petani pasti. Petani kita seperti mengejar bayang-bayang,” tambah Willie lagi sembari menyeruput secangkir Kopi.

Masih dengan secangkir kopi, para petani dan penikmat kopi ini menguak masalah kopi, tidak terasa hingga fajar menyingsing.

Secangkir Kopi di Gunung Sibayak

Coba lihat tiap pagi buta dengan siluet merah merona dari timur itu. Duduklah, nikmati oksigen pagi yang merasuki paru-parumu, sambil menghirup aroma kopi dan perlahan meminumnya. Rasakan nikmat dengan segala sensasinya.

Secangkir kopi tak pernah salah, kawan. Ia memang sudah seharusnya seperti itu, menggoda pagi, merayu siang, dan mencumbu dikala malam.

Peserta “Sidang Kopi Gunung” bersiap untuk mendaki Gunung Sibayak, Sabtu (4/11). MTD/Andre Prayogo.

Setelah kegiatan “Sidang Kopi Gunung” part I itu selesai, para peserta melanjutkan perjalanan menuju puncak Sibayak. Secangkir kopi tubruk Pe88 Aji Jahe mengawali perjalanan mereka untuk menikmati keindahan ciptaan Tuhan di Gunung Sibayak.

Kenapa secangkir kopi bisa dianggap begitu berbahaya? Karena ia begitu dijaga, atas rasanya maka dunia terasa begitu bermakna.

Kopi itu punya pecinta dan penikmatnya sendiri. jangan menghakimi kopi, karena disecangkir kopi selalu ada hangat untuk dibagi.

Titip pesan dari Kopi…

=================