medanToday.com,JAKARTA – Media asing menyoroti anak dan mantu Presiden Joko Widodo yang mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun ini.
Dalam artikel yang berjudul “Indonesian politics is becoming a family affair”, media Inggris The Economist mengatakan Jokowi pernah bersumpah bahwa para politisi baru di lingkaran keluarganya tidak akan bergantung padanya.
Pernyataan itu sempat dimuat dalam buku autobiografi Jokowi yang diterbitkan pada 2018 lalu.
“Menjadi presiden bukan berarti menyalurkan kekuasaan kepada anak-anak saya,” tulis The Economist dalam berita yang diunggah Kamis (3/12), mengutip perkataan Jokowi dalam autobiografinya.
Tapi, media tersebut menulis, Jokowi nampaknya sudah berubah pikiran ditandai dengan majunya sang putra Gibran Rakabuming Raka dan menantunya Bobby Nasution dalam pilkada 9 Desember di bawah naungan PDI-P. Padahal, keduanya tidak memiliki pengalaman dan latar belakang politik.
Gibran mencalonkan diri sebagai Wali Kota Surakarta, posisi yang dulu diemban sang ayah. Sementara Bobby mencalonkan diri sebagai Wali Kota Medan.
The Economist menyebut pencalonan Gibran dan Bobby sebagai momentum “luar biasa”, mengingat Jokowi awalnya menolak memuluskan jalan politik bagi keluarganya.
Selain itu, The Economist juga menyoroti pejabat Indonesia lain yang melanggengkan politik dinasti keluarga. Putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang mencalonkan diri sebagai Wali Kota Tangerang Selatan juga tak luput disinggung dalam artikel tersebut. Ditambah keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djoyohadikudumo yang maju sebagai wakil wali kota Tangsel berpasangan dengan Muhammad.
“Putra dan menantu Jokowi bukan satu-satunya orang yang memiliki ikatan dengan istana kepresidenan yang terlibat dalam kehebohan (Pilkada). Putri wakil presiden, yang mencalonkan diri sebagai wali kota Tangerang Selatan, kota yang berbatasan dengan Jakarta, bersaing dengan keponakan menteri pertahanan (RI),” tulis The Economist.
Tak hanya itu, The Economist pun menyoroti kekecewaan masyarakat Indonesia atas tumbuh suburnya politik dinasti di tanah air.
Pada 2015, parlemen nasional mengeluarkan undang-undang yang melarang keluarga petahana mencalonkan diri sebagai bupati, wali kota, atau gubernur.
Tapi UU itu dianggap tidak konstitusional oleh pengadilan dan dibatalkan di tahun yang sama. Kendati demikian, ketidaksukaan publik tetap ada.
____