Warga Bisa Jadi Korban, Ketika Batangtoru Ditingkatkan Jadi Kawasan Konservasi

0
222
ILUSTRASI Orangutan Sumatra. (sumber:EPA/Dedi Sinuhaji)

medanToday.com, MEDAN – Belum lama ini ditemukan subspecies Orangutan yang dinamakan Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) di kawasan Hutan Batangtoru, yang berada di Wilayah Tapanuli.

Berbagai pihak melayangkan permintaan agar status kawasan hutan lindung Batangtoru ditingkatkan menjadi kawasan konservasi. 

Peningkatan status tersebut dimaksudkan untuk melindungi 800 individu Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) yang hidup di hutan tersebut. Namun, apakah hal itu akan berjalan mulus?
Sekretaris Jenderal Komunitas Peduli Hutan Sumatera Utara (KPHSU), Jimmy Panjaitan menilai, kalau peningkatan status kawasan hutan dilakukan, dirinya khawatir wilayah tempat masyarakat menggantungkan kehidupannya akan semakin menyusut, terpinggirkan dan rentan konflik tenurial. Sebab, sekeliling hutan Batangtoru adalah tempat aktivitas ekonomi rakyat yang sangat masif.
“Masyarakat harus memanen getah kemanyan-nya, karet, kopi, dan komoditi lainnya yang berada di sekitar kawasan hutan. Kalau nanti mereka tidak bisa beraktifitas lagi di sana, lalu mereka makan apa? Siapa yang menghidupi mereka? Ini sudah bertentangan dengan jargon Kemen-LHK bahwa hutan untuk rakyat,” kata Jimmy, Minggu (19/11).
Ia melanjutkan, selain aktivitas ekonomi rakyat di Batangtoru, juga terdapat aktivitas industri yang berpotensi terjadi kerusakan hutan dan ekosistemnya seperti industri pertambangan emas, industri panas bumi/geotermal, dan yang sedang digagas saat ini, industri energi tenaga air. Sehingga persoalan akan semakin kompleks.
“Jangan selalu hak-hak rakyat yang dikorbankan, sementara aktivitas industri yang lebih luas mempengaruhi kerusakan ekosistem dibiarkan. Setreotipe masyarakat sekitar hutan penyebab kerusakan hutan harus dihilangkan,” ucapnya.
Menurut Jimmy, solusi untuk melindungi hutan dan orangutannya adalah tidak memberikan izin-izin baru untuk usaha yang mempengaruhi tutupan hutan Batangtoru dan mencabut izin-izin yang tidak produktif. “Untuk industri-industri yang sudah beroperasi harus diberlakukan zonasi yang ketat agar tidak memperlebar perambahan dan kerusakan hutan, juga tidak lagi memberikan perpanjangan izin,” jelasnya.
“Selamatkan Hutan Batangtoru…! Penemuan Orangutan Tapanuli bukan alasan perubahan status kawasannya. Janganlah mengambil keuntungan pribadi dan korporasi dengan mengambil hak rakyat atau mengatasnamakan konservasi. Ini tugas pemerintah pusat dan daerah, juga tugas kita bersama, untuk melindungi kawasan hutan ini dari eksploitasi dan hanya memanfaatkannya sesuai peruntukan dan fungsinya,” pungkas Jimmy.
Sementara itu, Ketua Simpul The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), Sumatera Utara Dinda Bethari mengharapkan, lembaga-lembaga konservasi menjadi garda terdepan menyelamatkan hutan Batangtoru dan mengadvokasinya. Bukan malah berkolaborasi dengan para industri yang jelas-jelas berkontribusi merusak hutan dan habitatnya.
“Selama ini yang terjadi, apalagi di Sumatera Utara, upaya konservasi selalu kalah dengan industri. Selain advokasi, yang harus dilakukan adalah penguatan
ekonomi masyarakat sekitar hutan. Sehingga mereka turut serta melindungi wilayah hutan. Bukan malah membatasi wilayah kehidupan mereka,” kata Dinda.
SIEJ Sumut pun, mendesak pemerintah daerah untuk melindungi wilayah kehidupan rakyat, dan berkontribusi dalam perlindungan habitat. Gerakan perlindungan perlu pendanaan, terkait minimnya anggaran ini, Dinda menyarankan Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA Sumatera) yang mendanainya.
“Sumber dananya dari pemutihan hutang negara. Kami menilai selama ini TFCA Sumatera tidak pernah berdampak pada gerakan konservasi dan peningkatan ekonomi rakyat. Padahal tujuannya untuk melestarikan kawasan hutan tropis di Sumatera yang tingkat deforestasinya sangat tinggi,” tandas Dinda.
Hutan Batangtoru berada di tiga kabupaten meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah. Batangtoru adalah tutupan hutan terluas di Sumatera Utara yang tersisa saat ini. Tak hanya berfungsi ekologis, hutan berstatus lindung ini bermanfaat sangat banyak pada manusia.
Mulai sebagai sumber energi, air untuk kebutuhan domestik dan pertanian, juga ekonomi. Dibalik manfaatnya yang mumpuni, permasalahan dan konflik juga tak kalah banyaknya.(mtd/bwo)
========================================================