medanToday.com,DELISERDANG – Kaum ibu yang tergabung di Kelompok Tani SEKATA, Desa Rumah Sumbul, Kecamatan Sibolangit, Deliserdang mengaku masih trauma atas perlakuan puluhan laki-laki yang diduga dari Desa Batulayang. Sebab, mereka diusir paksa ketika bercocok tanam di tanah ulayat sendiri.
Perempuan yang rata-rata lanjut usia (Lansia) itu juga mendapat perkataan tidak pantas dan ditakut-takuti dengan parang dan kayu.
“Maaf kata, kami juga dimaki-maki. Di situ kami semuanya Lansia. Tidak ada satupun suami kami,” kata Sentosa Br Sembiring kepada wartawan di lokasi kejadian Jalan Deleng Tinjau Dusun III, Desa Rumah Sumbul, Kecamatan Sibolangit, Deliserdang, Kamis (30/9) siang.
Warga Dusun I, Desa Rumah Sumbul itu menjelaskan, aksi brutal yang dialami ia dan enam temannya terjadi pada Kamis (9/9). Awalnya mereka sedang asyik bekerja di tanah ulayat seluas 80,1 hektare yang kini bermasalah. Sebab, Kepala Desa Batulayang mengklaim bahwa tanah itu adalah milik mereka.
“Sekitar jam 10.30 WIB mereka datang membawa parang dan kayu. Mereka langsung mengatakan ‘Hai, jangan kau tanami ladang kami ini. Ladang mu lah tanami, gak ada artinya ini. Pergi kau semua,” katanya menirukan ucapan kelompok yang mengusir mereka.
Mendengar suara bentakan dan melihat senjata, ibu berumur 66 tahun dan enam temannya langsung terduduk sambil menangis. Mereka tak tau mau berbuat apa lagi.
“Maaf kata ada yang sampai kencing-kencingan, gak bisa lagi jalan. Akhirnya kami duduk dan berdoa minta pertolongan sama Tuhan. Kalau ada yang sakit jantung, kan bisa mati di situ,” ujarnya dengan nada berat.
“Makanya kami bilangkan kek gini biar Pak Jokowi membantu warga Desa Rumah Sumbul. Biar gak sia-sia kami bekerja di ladang ini,” ucapnya mengakhiri keterangan.
Selama Ini Tidak Ada Masalah
Ketua Kelompok Tani SEKATA, Ramona Tarigan (55) mengatakan, selama ini tanah ulayat yang sejak lama dikelola warga Desa Rumah Sumbul tak pernah ada masalah. Begitu juga saat kembali bercocok tanam awal Agustus sampai September 2021.
Namun, pada Kamis (9/9) tiba-tiba warga Desa Batulayang datang dan menyuruh anggota kelompok yang sedang bekerja keluar dari lokasi.
“Mereka juga mengucapkan perkataan tidak pantas saat mengusir itu. Sebagai ketua, saya mengarahkan anggota tetap tenang dan tidak terprovokasi,” katanya.
Dia berharap agar masalah ini segera diselesaikan oleh instansi terkait yang ada di Sumatera Utara. “Lahan yang kami kelola ini sudah tumbuh ubinya. Jadi kami sangat mengharapkan ini segera selesai,” pungkasnya.
Kelompok Tani SEKATA Miliki SKT
Sekretaris kelompok tani, Henri Budi Kusumo (38) menambahkan, kelompok tani SEKATA sudah terbentuk sejak 1997. Lantaran desakan ekonomi di masa pandemi, kelompok tani kembali mengelola tanah ulayat Desa Rumah Sumbul ini.
“Kami menanam ubi kayu. Harapannya dengan bercocok tanam warga Desa Rumah Sumbul, khususnya kelompok tani bisa meningkatkan ekonominya,” katanya di lokasi yang sama.
“Kami tidak tau apa alasan mereka mengusir, sementara kelompok tani SEKATA memegang Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan dari desa kami. Itulah dasar kami bekerja dan dikuatkan oleh kesaksian pendiri desa bahwa lahan ini benar tanah ulayat Desa Rumah Sumbul”
Oleh karena itu, warga Desa Rumah Sumbul memohon kepada Bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membantu supaya masalah ini cepat selesai.
“Kasihan juga ibu-ibu yang sudah mengerjakan tanaman ini karena sampai saat ini kami tidak bisa masuk untuk mengelola kembali,” katanya.
Sementara, pembuka kampung, Lapai Guru Singa (73) menjelaskan sejarah tanah ulayat yang sekarang menjadi permasalahan itu. Keturunan Simanteki Kuta yang kedua ini bersaksi bahwa tanah ulayat ini benar milik Desa Rumah Sumbul yang dikelola kelompok Tani SEKATA.
Dia menambahkan, dari 1970 sampai 1989 dirinya menjadi kepala desa di Desa Rumah Sumbul. Selama menjabat dia mengerahkan masyarakatnya untuk mengawasi hutan serapan air yang mengalir sampai ke Kota Medan.
“Itulah sumbangan kami dari Desa Rumah Sumbul untuk kawan-kawan di Medan,” katanya.
Dia kembali menegaskan, selama kepemimpinannya tidak ada gangguan dari desa tetangga. Alasannya batas Desa Rumah Sumbul dengan desa tetangga sudah ada patoknya. Bahkan bukan puluhan tahun, tapi ratusan tahun patok itu sudah ada.
“Dari zaman Belanda sudah ada pilar di situ. Ditambah patok dari Tirtanadi,” ujarnya.
“Jadi, pengakuan Desa Batulayang yang memiliki lahan ini adalah tidak benar sama sekali. Lantaran seperti yang saya bilang tadi, adanya batas, patok dan pilar yang dibuat Belanda masih berdiri di situ. Titiknya pun saya tau semua,” pungkasnya.
Amatan wartawan di lokasi, beberapa meter dari pintu masuk dan bagian ujung jalan sudah dibangun pagar beton. Pemagaran diduga dilakukan pihak lawan yang sedang berkonflik dengan warga Desa Rumah Sumbul.
Tanaman hutan yang berada di sisi kiri dan kanan jalan juga telah ditebangi. Bahkan tanaman yang ditanami warga Desa Rumah Sumbul tak sedikit yang dirusak. (mtd/fad)
========================