medanToday.com, BAWEN – Musim penghujan yang berlangsung sejak Oktober lalu membuat produksi kerupuk di sentra pembuatan kerupuk di Desa Tuntang, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, menurun.
Pasalnya para pengrajin kerupuk di desa ini mengandalkan sinar matahari untuk proses pengeringan. Jika pada musim kamarau, proses pengeringan cukup dilakukan selama 6 jam, kini membutuhkan waktu 3 hingga 4 hari.
” Kerupuk yang tidak kena panas matahari terkadang menjamur. Kami harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membayar pekerja membersihkan satu persatu krupuk yang menjamur sebelum dijemur lagi,” kata Wardati (55), pengrajin kerupuk kedelai di Dusun Gading, Desa Tuntang, Jumat (15/12/2017).
Sinar matahari pada musim hujan sangat sulit dijumpai. Jika ada sinar matahari sedikit saja, Wardati dan para pekerjanya bergegas mengeluarkan ancak atau irig yang berisikan tatanan kerupuk mentah yang masih basah.
Para pengrajin ini juga dituntut ekstra waspada jika sewaktu-waktu hujan turun. “Ada panas sedikit paling sampai jam dua belas siang. Harus sering dibolak-balik agar lebih cepat kering,” ucapnya.
Ketergantungan terhadap sinar matahari ini bukan tidak pernah disiasati para pengrajin. Mereka pernah menggunakan mesin pemanas atau oven untuk mengeringkan kerupuk. Namun setelah kering, kerupuk tidak bisa mekar saat digoreng.
“Panasnya tidak sempurna, sehingga kalau digoreng tidak mekar. Jadi ya tetap dijemur dengan panas matahari,” jelasnya.
Kerupuk Kedelai
Wardati adalah salah satu pengrajin kerupuk di Dusun Gading. Kebanyakan kerupuk yang diproduksi di dusun ini adalah kerupuk jenis kedelai.
Bisnis kerupuk ini rata-rata turun-temurun. Seperti Wardati yang merupakan generasi kelima. Saat ini ia bisa mempekerjakan 10 orang tetangganya untuk membantu proses produksi.
“Sehari kalau normal bisa produksi sampai satu kuintal. Tapi kalau musim seperti ini separuhnya sudah bagus,” jelasnya.
Kerupuk produksi Wardati dan para pengrajin di Dusun Gading, selain dijual di pasaran lokal, juga terjual hingga kota-kota besar lainnya. Misalnya Jakarta dan Lampung. “Per kilonya sampai Jakarta harganya Rp 50.000,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Desa Tuntang Muhammad Nadlirin (39) mengungkapkan, di wilayahnya ada sekitar 100 perajin kerupuk. Mereka terkonsentrasi di dua dusun, yakni Dusun Gading dan Dusun Cikal.
Untuk desa Gading, kebanyakan adalah pengrajin kerupuk kedelai. Sedangkan di Dusun Cikal, produksi kerupuk rambak dan kerupuk karak.
“Satu pengrajin bisa menarik 2 hingga 10 tenaga kerja,” kata Muhammad Nadlirin.
Nadlirin yang juga pengrajin kerupuk kedelai ini juga mengakui bahwa musim hujan membuat produksi kerupuk menurun. Proses produksi hingga pengepakan menjadi dua kali lebih lama lantaran lamanya proses pengeringan.
“Satu kuintal kerupuk, kalau ada matahari sampai packing butuh waktu 3 hari. Tapi kalau hujan begini dari adonan sampai jadi packing butuh enam hari,” jelasnya.
Kendati produksi kerupuk pada musim penghujan ini menurun, namun dari segi penjualan justru meningkat. Hal ini lantaran para stok kerupuk di pasaran menipis, sedangkan permintaan konsumen tetap.
“Kalau kemarau produksinya banyak, tapi pemasarannya sulit. Kalau penghujan, kerupuknya tidak ada (menipis), tapi permintaan ramai,” ucapnya.
Produksi kerupuk kedelai, sambung dia, tidak bisa dilakukan dengan jumlah besar dengan tujuan untuk stok di musim penghujan. Sebab potongan kedelai yang ada di dalam adonan tidak bisa bertahan lama.
Kerupuk kedelai paling lama dapat disimpan hingga satu bulan. “Jadi kami para pengrajin krupuk kedelai ini benar-benar merindukan sinar matahari,” tuntasnya.
(mtd/min)