Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi. (Wahyu Putro/ANTARA FOTO)

medanToday.com,JAKARTA – Keputusan mundur Edy Rahmayadi dari jabatan Ketua Umum PSSI menjadi preseden baik bagi kebobrokan PSSI. Ia memutuskan mundur setelah merasa gagal mengurus induk sepak bola nasional tersebut.

Serentet kasus, mulai dari kekerasan suporter, prestasi melempem Timnas Indonesia, hingga yang terbaru kasus pengaturan skor di kompetisi tanah air, membuat Edy Rahmayadi terdesak. Belum lagi soal rangkap jabatan dirinya sebagai Ketua Umum PSSI sekaligus Gubernur Sumatera Utara.

Keputusan mantan Pangkostrad ini justru menjadi pembeda mantan-mantan Ketua Umum PSSI sebelumnya, setidaknya dari empat rezim ke belakang. Mereka rata-rata dilengserkan secara paksa dari kursinya.

Edy Rahmayadi mengumumkan mundur pada Kongres PSSI 2019 di Hotel Sofitel. Ia sendiri menegaskan tak ada satu pihak pun yang menekannya sehingga harus lengser.

“Demi PSSI berjalan dan maju, maka dari itu saya menyatakan hari ini saya mundur dari Ketua PSSI. Dengan syarat, jangan khianati PSSI,” kata Edy dalam pidato yang kemudian disambut dengan teriakan tunggal takbir dari salah seorang pemilik suara di kongres tersebut.

Edy kemudian menyerahkan kekuasaan tertinggi sepak bola Indonesia ke Wakil Ketua Umum PSSI Joko Driyono. Untuk sementara, Joko memimpin PSSI dengan status Pelaksana Tugas (Plt) Ketum PSSI.

Sementara perwakilan Asosiasi Provinsi (Asprov), klub Liga 1, klub Liga 2, klub Liga 3, dan Asosiasi Futsal sebagai pemilik suara PSSI bertepuk tangan. Sebagian besar bersorak girang terhadap keputusan Edy tersebut. Seakan-akan PSSI baru saja lepas dari sosok diktator.

Padahal, kebobrokan PSSI bukan soal Ketua Umum semata. Posisi itu malah setitik dari karut-marut organisasi sepak bola tanah air tersebut.

Masalah sengkarut sepak bola Indonesia begitu kronis ke akar-akarnya. Jika bicara kebobrokan PSSI, kerusakannya banyak tersebar di kepengurusan daerah maupun klub-klub.

Tengok saja kasus pengaturan skor yang kini tengah dibedah Satgas Anti Mafia Bola Kepolisian Republik Indonesia dengan mayoritas ‘pelaku’ berasal dari daerah. Sudah banyak pula selentingan, termasuk dari rekan-rekan wartawan yang mengatakan orang-orang lama yang tak kalah bobroknya masih begitu kuat bercokol di PSSI.

Tak ada hujatan dan sorakan mengejek, mundurnya Edy Rahmayadi justru disambut apresiasi sejumlah anggota PSSI. Ketua Asprov PSSI Nusa Tenggara Timur, Gabriel Suku Kotan, misalnya. Pria asal Kupang tersebut menilai itu sebagai pilihan yang paling bijak.

“Luar biasa, bagi saya ini jadi contoh. Mendatang, jangan ada [situasi] yang seperti ini lagi di PSSI. Kongres di Bali ini menjadi kebangkitan PSSI,” ucap Gabriel.

“Kalau ada lagi, sama saja. Retorika. Padahal kepemimpinan [Edy] sisa satu tahun, apalah artinya satu tahun? Tapi tetap patut diteladani [keputusan Edy untuk mundur],” ucapnya menambahkan.

Edy resmi dilantik sebagai Ketua Umum PSSI pada 10 November 2016 dengan masa jabatan empat tahun. Itu berarti, sebetulnya masa jabatan dia resmi selesai pada 2020.

Meski lengser lebih cepat, keputusan Edy juga dinilai Gabriel sebagai langkah yang kesatria.

“Bagi saya, dengan sisa jabatan Edy yang setahun ini, kami tidak ingin ada KLB [Kongres Luar Biasa]. Lebih baik Pak Joko [melanjutkan] sampai akhir kepemimpinan Pak Edy,” katanya.

Senada dengan Gabriel, Ketua Asprov PSSI DI Yogyakarta Bambang Kuncoro mengatakan pengunduran diri Edy sebagai jawaban atas kritik soal rangkap jabatan yang menjadikan Edy jadi sulit fokus sebagai kepala daerah. Ia kemudian memperingatkan Joko Driyono mengenai tantangan yang akan diemban selama menjadi Plt. Ketum PSSI.

“Pak JD [Joko Driyono] meski sudah lama di PSSI dan sebagai Waketum, mestinya banyak tahu permasalahan-permasalahan di PSSI. Namun adanya beberapa oknum PSSI yang sangat dominan bahkan memiliki pengaruh besar di PSSI akan membuat sulit beliau membenahinya. Tuntutan komitmen tinggi untuk membuka seluruh perilaku buruk selama ini merupakan tugas pertama beliau,” ujar Bambang.

“Kemudian baru menata kembali PSSI berdasar profesional, sportivitas, sinergi, dan pentingnya integritas. Asprof DIY merasakan dampak dari perilaku buruk [PSSI],” ucap Bambang.(mtd/min)

======================