Parpol Dinilai Punya Tanggung Jawab Besar Sukseskan Pemilu Langsung

0
253
Mantan menteri era Abdurrahman Wahid, Ryaas Rasyid (kanan) saat mengisi diskusi bertema Partisipasi Perempuan dalam Mendukung Agenda Demokrasi Pemilu Serentak Tahun 2019, di Jakarta, Senin (16/10/2017).(KOMPAS.com/ESTU SURYOWATI)
Mantan menteri era Abdurrahman Wahid, Ryaas Rasyid (kanan) saat mengisi diskusi bertema Partisipasi Perempuan dalam Mendukung Agenda Demokrasi Pemilu Serentak Tahun 2019, di Jakarta, Senin (16/10/2017).(KOMPAS.com/ESTU SURYOWATI)

medanToday.com, JAKARTA – Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Ryaas Rasyid menegaskan, sejak awal dirinya tidak setuju dengan pemilihan umum secara langsung.

Namun, lantaran saat ini sudah terlanjur digunakan sistem pemilihan umum langsung, Ryaas menilai partai politik punya tanggung jawab lebih besar dalam menyukseskan pemilu. Pembenahan parpol menjadi kuncinya.

“Pertama, mau enggak partai-partai politik memperbaiki dirinya? Mencalonkan orang yang betul-betul bisa berbuat banyak untuk rakyat karena punya kompetensi,” kata Ryaas, dalam diskusi “Partisipasi Perempuan dalam Mendukung Agenda Demokrasi Pemilu Serentak Tahun 2019”, di Jakarta, Senin (16/10/2017).

Ryaas menuturkan, sudah semestinya partai-partai politik tidak mengusung atau mencalonkan orang hanya karena orang tersebut mampu memberikan mahar yang besar ke partai.

Selain itu, tanggung jawab partai politik juga tidak berakhir setelah kandidatnya terpilih. Ryaas menuturkan, partai politik harus mengawal hasil dari pemilihan umum tersebut.

Jangan sampai partai-partai politik langsung lepas tangan. Terlebih lagi ketika kader partainya yang menjabat justru terlibat kasus korupsi.

“Kan mereka yang mencalonkan dulu. Jadi pembenahannya itu parpol bertanggung jawab atas keterpilihan orang-orang yang berkualitas atau tidak,” kata Ryaas.

Pemilihan serentak

Sementara itu, mengomentari pemilihan Presiden (pilpres) yang pelaksanaannya serentak bersamaan dengan pemilihan umum legislatif (pileg), Ryaas menilai seharusnya pelaksanaan pilpres bisa dipisah.

“Namanya pelecehan terhadap jabatan presiden. Orang yang jadi presiden cuma satu kok, kenapa enggak diistimewakan? Kenapa diikutkan kawin massal?” ucap Ryaas.

Menurut Ryaas, sebagai panglima tertinggi, sudah seharusnya ada perlakuan berbeda untuk pemilihan Presiden. Namun, lebih aneh lagi kata dia, pilpres yang dilaksanakan serentak pileg, masih menggunakan ambang batas pencalonan presiden.

“Seharusnya dengan pilpres langsung pun tidak perlu ada ambang batas. Bagaimana bisa threshold kalau pilegnya bersamaan. Ibarat tiket sepak bola sudah disobek,” ujar Ryaas.

(mtd/min)