Penetapan Nilai Harta Oleh Pajak Tidak Relevan

0
209
Wajib pajak sedang melakukan pelaporan pajak di Kantor Pelayanan Pajak [KPP] Jakarta Timur, Selasa (25/04). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), jumlah wajib pajak (WP) yang melaporkan SPT tahun pajak 2016 hingga Jumat (21/4) sebanyak 10,58 juta WP. "Realisasi pelaporan SPT itu naik 4,56% dibanding periode sama di tahun lalu," tandas Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Yon Arsal. Dari total SPT yang masuk hingga 21 April 2017, sebanyak 9,3 juta berasal dari WP orang perorangan karyawan. Angka itu naik 2,19% dari pelaporan di tahun 2016, sebanyak 9,1 juta WP. Sedang SPT dari WP perorangan non karyawan mencapai 926.000, naik 31,34% dibanding 21 April 2016. Sisanya, sebanyak 305.000 dari WP badan, naik 27% dari 21 April 2016. KONTAN/Fransiskus Simbolon/25/04/2017

medanToday.com – Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2017.

Dalam naskah peraturan itu, bagi wajib pajak yang mengikuti amnesti pajak, PP ini berlaku atas harta bersih yang belum atau kurang diungkap, termasuk bagi Wajib Pajak (WP) yang tidak memenuhi ketentuan pengalihan dan/atau repatriasi harta.

Sementara bagi wajib pajak yang tidak mengikuti amnesti pajak, PP ini menyasar harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh.

Ketua Hipmi Tax Center Ajib Hamdani mengatakan, aturan ini memiliki satu poin yang memiliki potensi dispute, yakni pada Pasal 5 ayat 2 di mana nilai harta bersih non kas ditentukan oleh Ditjen Pajak (official assessment). Menurutnya, hal ini tidak relevan untuk diterapkan.

Ia menjelaskan, sistem pajak yang dianut di Indonesia, sesuai dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sendiri adalah sistem self assessment. Hal ini juga yang mendasari dalam UU Tax Amnesty beberapa waktu lalu.

“Official assessment hanya bisa dilakukan untuk mekanisme pemeriksaan. Jadi, kesimpulannya penetapan nilai oleh pajak, tidak relevan,” ujarnya kepada KONTAN, Selasa (26/9/2017).

Ia melanjutkan, PP 36 ini terkesan sekadar upaya untuk jangka pendek. yakni memenuhi penerimaan pajak yang dikhawatirkan shortfall pada akhir 2017.

Menurut Ajib, pemerintah seharusnya lebih fokus jangka panjang dalam membuat aturan pajak.

“Bukan sekadar ‘tiba saat tiba akal’ untuk sekadar memenuhi target jangka pendek penerimaan negara,” ucapnya.

Dengan demikian, menurut Ajib, apabila ada pihak yang merasa dirugikan, maka judicial review bisa saja dilakukan. Namun, secara umum, dirinya setuju dengan keluarnya PP nomor 36 ini. “Hanya waktunya kurang tepat,” kata dia.

(MTD/MIN)