“Saya mohon maaf kepada semua. Saya tak tahu lagi mau bilang apa. Kalau menangis bisa menyelesaikan, saya pasti lakukan untuk mengobati Anda semua.” Demikian ungkapnya dari atas panggung Zeqita Cafe, Medan, semalam (Senin, 30 April 2018).

Seorang pria elegan bertopi koboi di depan sana, menyapa kami dengan getaran kelembutan hatinya. Very…very…Gentleman!

“Buat apa minta maaf, apalagi kepadaku? Justru aku yang berterimakasih,” batinku berkata dari kursi sebelah sini.

Tetapi demikianlah seorang Joy Harlim Nonink Sinuhaji atau Nonink mengungkapkan perasaan terdalamnya kepada publik yg hadir menyaksikan “A Night with Legend ROCKARO Joy Harlim Sinuhaji”.

Bukan tanpa alasan dan bisa diterima, setelah menyanyikan beberapa lagu pembukaan, terdapat gangguan organis di pita suaranya. Memang begitu, keberadaan fisik terikat oleh hukum ruang dan waktu. Tidak masalah, alamiah adanya.

Apakah kondisi keterbatasan fisik melunturkan kharisma seorang seniman? Sama sekali tidak! Nilai ke-legenda-an bukan di situ letaknya.

Seniman yang melegendaris ada pada daya pengaruh yang ia tularkan melalui karya seni. Ada pada jiwa yang menggetarkan daya hidup pada jiwa-jiwa lain di sekitar. Sulit mengatakan bahwa Joy Harlim Sinuhaji dengan ROCKARO-nya tak mempengaruhi secara musikalitas maupun sosio-kultural pada zamannya.

Meski belum tercatat dalam direktori musik formal, blantika musik (orang) Karo melahirkan banyak sekali musisi legendaris bahkan menembus tingkat Nasional dan Internasional.

Secara khusus, dalam konteks musik ‘full band’ mudah ditemukan kiprahnya antara lain (Alm.) Jusup Sitepu, Rudang Grup (Ramona Purba cs.), (Alm.) Fredi Lamindo Silalahi, (Alm.) Robby Ginting dan tentu saja ROCKARO (Joy Harlim Sinuhaji and The Gank). Beberapa nama ini turut andil berkontribusi memperkaya khazanah permusikan Karo di luar arus utama ‘musik kibod’.

ROCKARO yang menghiasi jagad pendengaran (orang) Karo terutama di akhir tahun 1990-an sampai 2000-an tak boleh dianggap remeh.

Lewat peredaran kaset pita kala itu, lagu-lagu seperti ‘Tongat Teler’ atau ‘Nde Turang’ juga ‘Ola Megombang’ tak asing kita temui dinyanyikan anakmuda yang berkumpul di gang-gang atau di warung. Berbagai kompetisi musik kelompok band pun sering diisi dengan lagu-lagu ROCKARO. Pokoknya, gaung nama ROCKARO punya kesan dan citarasa khas tersendiri yang membedakannya dengan musisi lain.

ROCKARO cerdas dan berkarakter dalam bermusik. Terinspirasi Band Rock dari industri musik barat (Deep Purple, Pink Floyd, dll.) lantas tak membuatnya hanyut ikut-ikutan sebagai pengekor.

ROCKARO mereinterpretasi (menafsir ulang) Band-band tersebut lalu menjadikannya ‘milik sendiri’, menjadi Rock(nya) (orang) Karo alias ROCKARO.

Dimana letak ke-Karo-annya? Bukan hanya musik rock berbahasa Karo, tapi juga beberapa idiom tradisi musik Karo dan paling penting adalah realitas sosial dan memori kolektif orang Karo keseharian diracik apik berbalut hentakan musik rock.

Sekali lagi saya katakan, bukan pada fisik yang terikat oleh ruang dan waktu tetapi pada jiwa. Getaran jiwa mempersemangati jiwa-jiwa lain.

Satu warisan semangat menginspirasi yang lain untuk berpijak pada kesadaran menjejak tanahair sendiri. Membaca dan memaknai ruang kehidupan dimana kita lahir, tumbuh dan berpulang nanti.

Terimakasih kepada Sang LEGENDA “ROCKARO Joy Harlim Sinuhaji” atas warisan keteladanan ini. Who’s the next? Sai mara ku rumah tendi. Mejuahjuah.

Saya kutip dari Budayawan/Spiritualis Ramli Aziz yang ia sematkan pada satu foto konser tadi malam:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala jiwa!.dan oleh sebab itu.maka tercerahkanlah semua pikiran!”

=======
Penulis adalah Pendiri Sekolah EsTetikA