Siang itu matahari terasa sangat menyengat di kulit, Enjelina Tafonao, seorang murid SMP ini terlihat tanpa beban, senyum manisnya merekah. Dengan beban di atas kepalanya yang tidak ringan, ia sedang menjunjung 15 kilogram bahan pokok yang harus diangkut dengan kepala.
Di pedalaman Kabupaten Nias Selatan yang jalanya sebagian besar masih berupa tumpukan batu cadas dan tanah liat, dengan sisi kemiringan yang lumayan terjal membuat medan begitu sulit untuk dilalui kendaraan bermotor atau mobil.
Adapun kendaraan yang mampu melewatinya hanya mobil dengan gerdang dua lah yang bisa sampai di sini. Itupun sudah pasti bukan dengan biaya yang bisa dijangkau. Pertimbangannya, kalau harus menyewa mobil gerdang dua, maka biaya kebutuhan pokok yang dibawa tidak akan terjangkau warga desa.
Seperti itulah kira-kira sekilas keadaan di desa ini. Desa Lawindra yang terletak di Kecamatan Umbunasi.
Maka alternatif lain yang dipilih oleh orang-orang yang memiliki usaha jual sembako adalah dengan menggunakan tenaga manusia, sehingga harga kebutuhan pokok bias lumayan terjangkau.
Dari segala keterbatasan akses jalan, muncul pula rezeki yang bisa diraup oleh para anak-anak di daerah ini.
Di waktu luang yang mereka miliki, anak-anak di desa ini memanfaatkan diri untuk menjadi penyedia jasa pengangkut barang kebutuhan pokok, dua sampai tiga kali seminggu.
Uniknya, mereka mengangkut barang-barang dagangan itu di atas kepala. Tapi untuk para remaja yang bekerja ini, bukanlah suatu beban. Tapi euforia menjelang akhir pekan yang sangat ditunggu-tunggu.
Hasil yang mereka dapat dari mengangkut barang, biasanya mereka gunakan untuk membeli kacang (jajanan), selebihnya disisakan untuk ditabung untuk kebutuhan sekolah. Karena keterbatasan ekonomi orangtua mereka, membuat tak ada jatah untuk uang jajan yang bisa diberikan pada anak-anaknya.
Jangankan jajan, untuk memenuhi makan sehari-hari saja masih kesulitan.
Enjelina Tafonao adalah seorang dari sekian banyak anak pengangkut barang yang ada di Desa Lawindra ini.
Dia berjuang mengangkut barang dari Desa Zuzuhoi ke Desa Lawindra sepanjang 5 kilometer dengan jalanan menanjak, sisi kemiringannya bias mencapai 70 drajat.
Dengan berat badan 27 kilogram, Enjel bisa menjunjung 15 kilogram beban barang di kepalanya. Satu kilogram biasanya ia diupah Rp 500 oleh Ama Darni pemilik UD Luki, warung yang menjual kebutuhan pokok.
Ketika ditanya apakah uang hasil jerih payahnya nanti dikasih ke orangtua, Enjel geleng kepala.
“Tidak Bu, untuk dana kelas Bu,” jawabnya sambil tersenyum malu-malu.
Apakah upahnya untuk beli gulo-gulo (permen atau permen karet yang manis).
“Tidak Bu,” jawabnya dengan sedikit penekanan nada khas Nias Selatan.
Sambil tersenyum malu Enjel menjawab,”untuk dana kelas Bu.”
Ternyata Enjel menyisakan Rp 3.000 untuk membayar dana kelas setiap bulan, sisanya baru dimanfaatkannya untuk membeli jajanan.
Dari sisi prestasi, Enjel murid yang paling pintar di kelasnya 7-1 dengan rata-rata nilai 9 di setiap mata pelajaran. Begitu juga soal berbahasa Indonesia, dari 20 teman sekelasnya, Enjel lah yang paling lancer.
Di kelas, ia juga termasuk murid yang paling aktif bertanya, jika ia belum mengerti soal pelajaran yang sedang diterangkan oleh guru. Sopan dan tidak pernah telat sampai ke sekolah.
Ia begitu bersemangan untuk hadir ke sekolah, meskipun tas sekolahnya dari kantongan plastik yang berisi beberapa buku tulis dan satu pulpen, karena buku paket hanya milik guru. Keadaan itu tidak membuatnya patah semangat.
Enjel berasal dari keluarga yang sangat sederhana sekali, makan sehari-hari jauh dari empat sehat lima sempurna. Menu yang biasa ia santap hanya nasi putih degan lauk ikan asin dan sayur daun singkong rebus.
Untuk menikmati makan enak, mungkin hanya sesekali. Itu pun jika ada acara syukuran atau pesta yang digelar warga sekitar.
Saat itulah baru Enjel, kakaknya dan lima adiknya bisa mencicipi daging. Itu pun harus berbagi, sedikit demi sedikit.
Di sela-sela kesibukannya sehari-hari, seperti membantu orangtua di kebun, menjaga adik dan mengambil daun ubi jalar untuk makanan babi di sore hari, ia selalu sempat untuk mengerjakan PR (pekerjaan rumah).
Padahal, ketika malam hari, rumah Enjel pasti gelap gulita. Maklum saja, rumah-rumah penduduk di sini belum dialiri arus listrik. Hanya beberapa keluarga yang memiliki genset dan panel surya.
Terkadang Enjel harus numpang nge-cash senter emergensi miliknya agar bisa mendapat penerangan untuk mengerjakan PR.
Melihat kehidupan Enjel, potensi serta keseriusannya dalam belajar dan menjalani hari-hari, terbesit hati ini: Andai saja Enjel dan anak-anak yang pintar lainnya di sini punya kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya di kota dan diberi beasiswa sampai di bangku perkuliahan, maka suatu hari dia pasti bisa memperbaiki kampung halamannya, sedikit demi sedikit agar bisa lebih maju. Yang pasti, tidak seperti sekarang ini.
Nias Selatan, Umbunasi Desa Lawindra Februari 2018
Oleh Monto Kannegi Ginting