Nama Indonesia dalam sebuah proyek politik kebangsaan memang muncul pertama kali di tahun 1920-an. Namun, keinginan banyak orang di seluruh pelosok nusantara terikat dalam satu negara sudah ada jauh daripada itu.

Belajar dari pengelompokan masyarakat berdasarkan warna kulit, bahasa, etnis, suku dan agama dalam sebuah institusi negara-bangsa di era modern. Moehammad Yamin, Soegono dan Soenario akhirnya berkumpul untuk merumuskan formulasi proyek nasionalisme politik bernama sumpah pemuda pada 28 oktober 1928 di Jakarta.
Pada bacaan saya di berbagai literasi.

Berbagai interupsi, koreksi dan informasi terus menerus menghujani pertemuan itu. Tak jarang pekik; Merdeka terus menggelora. Pada bahasa “Merdeka” para perwakilan organisasi pemuda yang berasal dari Jawa, Celebes, Sumatera, Batak hingga Ambon menyepakati satu hal; bebas dari segala bentuk penjajahan kolonialisme Belanda.

Pada bahasa merdeka pula akhirnya para pemuda yang berkumpul itu menyepakati satu cita-cita kebangsaan; satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa dalam kesepakatan terlembaganya satu negara di kemudian hari bernama Indonesia.

Perkumpulan yang ahad ini disebut sebagai kongres pemuda II seakan menjadi pembuktian ejekan dari Belanda yang menyebut orang Indonesia sebagai Laksheid atau pemalas, tidak bersatu dan saling bermusuhan tidaklah benar.

Bahwa orang Indonesia juga punya semangat, keinginan dan rasa kebersamaan untuk bersatu. Ihwal perkumpulan itu lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Soepratman dikumandangkan untuk pertama kalinya di tanah nusantara.

Krisis Keragaman

Tidaklah mudah membangun kesadaran di kalangan masyarakat bahwa kebinekaan adalah keniscayaan sejarah. Menanamkan sikap yang adil dalam menyikapi kebinekaan adalah perkara yang lebih tidak mudah lagi. Pasalnya, penyikapan terhadap kebinekaan kerap berimpitan dengan pelbagai kepentingan sosial, ekonomi dan politik. Khususnya Indonesia yang merupakan negara maritim yang terdiri dari 13.466 pulau, adat istiadat yang beragam, agama yang plural dan kesenjangan sosial-ekonomi yang masih memicu kerentanan demi kerentanan. Dengan serba keragaman ini tidak mudah mengurus keberagaman bangsa ini. (Ahmad Syafii Maarif, 2015)

Lihat saja permasalahan akut yang dihadapi Indonesia akhir-akhir ini. Selain krisis ekonomi, korupsi dan bencana akibat kerusakan lingkungan, Indonesia masih berkutat dengan krisis keragaman. Indonesia masih terbelenggu tindakan intoleransi yang disebabkan dikotomi hitam-putih, tua-muda, dan mayoritas-minoritas.

Gereja dibakar, masjid dihancurkan dan berbagai kasus pelarangan pendirian rumah ibadah. Di sisi yang lain berbagai konflik suku, ras dan gender juga masih terjadi dipelbagai pelosok negeri yang merobek untaian paling pusaka keragaman Indonesia bernama Bhinneka Tunggal Ika.

Padahal melukai keragaman sama artinya dengan melukai Sumpah pemuda yang diikrarkan 89 tahun yang lalu.

ILUSTRASI. (sumber:internet)

Generasi Millenial

Zaman telah berubah. Sejarah telah bergerak melewati ruang, waktu, kesempatan dan generasi. Tentu hal ini sejalan dengan gaya hidup, pola dan tingkah laku para pemuda. Ini era Millenial sebuah era yang segala sesuatunya tidak dapat dilepaskan dari internet.

Jika di masa awal pergerakan sumpah pemuda istilah interupsi, koreksi dan informasi menjadi bahasa yang kerap dilontarkan disetiap rapat-pertemuan para pemuda.

Kini seolah berganti dengan istilah Baterai, koneksi dan wifi akibat ketergantungan yang tidak bisa dilepaskan pemuda dari generasi millenial dari Internet. Dari memainkan gadged, stalking, Selfie, Bulliyng sampai pamer kenyamanan hidup adalah perilaku yang acapkali dihubungkan dengan perilaku anak muda dari generasi Millenial atau generasi Y.

Namun, Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang merilis statistik pengguna dan perilaku pengguna internet Indonesia terbaru sampai oktober 2016. Pengguna internet ada sebanyak 132,7 juta dari total populasi penduduk Indonesia 256,2 juta orang. Dari total tersebut sekitar 49% penguna internet adalah generasi anak muda yang lahir pada tahun 1980-an sampai 2000-an.

Itu artinya dunia media sosial dan internet dikuasai oleh generasi millenial.

Kedekatan antara generasi millenial dan internet ini tentunya tidak boleh di pandang sebelah mata. Sebab Menurut prediksi Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020-2035 Indonesia akan memperoleh bonus demografi. Dalam proyeksi kependudukan tercatat bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 sebanyak 305,6 juta jiwa dengan persentase angkatan kerja produktif mencapai 66,6% yang merupakan generasi millenial.

Bonus demografi adalah komposisi jumlah penduduk produktif lebih besar dari jumlah penduduk tidak produktif. Kategori angkatan kerja produktif umur 15-64 tahun, sementara angkatan kerja tidak produktif umur 0-14 tahun dan umur di atas 65 tahun. Itu artinya potensi yang dimiliki generasi millenial terhadap arah pembangunan bangsa sangat besar kedepannya.

Jadi, terlepas dari perspektif negatif terhadap perilaku pemuda dari generasi millenial yang selama ini dianggap pemalas, tidak produktif dan tidak memiliki kontribusi apa-apa terhadap arah pembangunan bangsa.

Kedepannya pada pundak merekalah tanggung jawab akan keragaman dan kebinekaan Indonesia tetap terjaga. Kepada mereka pulalah benang-benang keragaman Indonesia tetap menjadi untaian solidaritas paling pusaka di garis khatulistiwa.

Untuk itu meski dilahirkan dari zaman, waktu dan kondisi yang berbeda tapi cita-cita untuk akan kebinekaan dan keragaman setiap generasi pemuda dalam ke-Indonesiaan tetap sama; Indonesia Raya.

===========