medanToday.com, MEDAN – Belum lama ini ditemukan Orangutan Tapanuli, dengan nama latin Pongo Tapanuliensis, sebagai spesies kera besar terbaru di dunia.
Spesies baru ini hanya ditemukan di ekosistem Batang Toru yang meliputi hutan dataran tinggi yang tersebar di tiga daerah Tapanuli, Sumatera Utara.
Populasi yang hanya berjumlah 800 ekor perlu dilakukan penyelamatan, untuk itu Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi mendukung spesies ini masuk dalam daftar spesies sangat terancam punah.
Hal itu diungkapkan Gubernur saat melakukan publikasi penemuan spesies baru Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) yang digelar di rumah dinas Gubernur Jalan Jend Sudirman Medan, Jumat (3/11/2017).
Turut hadir dalam kesempatan itu, mewakili Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) dan Ekosistem, Hotmauli Sianturi, Koordinator Program PAN ECO-SOCP Yayasan Ekosistem Leuser, Gabriella Fredricson, Pakar Genetika, Matthew, Pakar Landscape dan GIS, Graham, Ketua Forum Konservasi Oranutan Sumatera, Kusnadi dan Kadis Kehutanan, Halen Purba.
“Spesies ini sudah terancam punah, sehingga ini harus kita kembangkan agar dapat menjadi andalan Sumut. Spesies ini harus kita lindungi tidak boleh diburu, kita harus menjaga kelestarian dan menjaga kawasan hutan tempat mereka tinggal. Jangan ada lagi penebangan hutan liar yang bisa merusak makhluk hidup di sekitarnya,”kata Erry.
Ia mengatakan dirinya mendukung sepenuhnya agar spesies ini dimasukkan dalam daftar spesies sangat terancam punah.
Erry mengaku Pemprov Sumut siap untuk mengeluarkan aturan penyelamatan terhadap spesies orangutan ini.
Begitu pun diharapkannya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat lebih selektif lagi untuk mengeluarkan izin usaha di kawasan hutan Batang Toru.
“Kita harap Kementerian LHK dan Kehutanan dalam mengeluarkan izin usaha di kawasan hutan lindung Batang Toru yang didalamnya ditemukan spesies baru orangutan, ke depan dapat lebih selektif dan harus ada kajiannya sehingga tidak mengganggu habitat mereka,”ujar Erry.
Lebih lanjut dikatakan Erry, kawasan hutan lindung Batang Toru relatif masih merupakan virgin forest (hutan alam yang belum terjamah) dengan luas 133.841 ha yang meliputi kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan, merupakan habitat alami berbagai jenis satwa liar yang sudah langka.
Diantaranya, Harimau, Tapir, Beruang Madu, Orangutan serta berbagai jenis burung seperti burung Kuau, burung Enggang, burung Takur dan burung Pelatuk.
Erry mengatakan, Pemprov Sumut berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah bekerja keras baik peneliti lokal maupun peneliti mancanegara dengan dukungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan khususnya Dirjen Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem termasuk Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumut, sehingga dapat ditemukan spesies baru orangutan di kawasan hutan Batang Toru ini.
“Hari ini, hasil penemuan ini dilaporkan dalam salah satu jurnal internasional terkemuka, Current Bilogy, di mana jenis orangutan baru ini dinobatkan sebagai spesies orangutan ketiga setelah Pongo Pygmaeus (orangutan Kalimantan) dan Pongo Abeli (Orangutan Sumatera),” ujar Erry.
Diharapkan Erry, penemuan ini nantinya dapat meningkatkan daya tarik wisata dan perhatian dunia ke provinsi Sumut, khususnya kawasan hutan Batang Toru yang merupakan habitat alami satu-satunya orangutan Tapanuli.
Koordinator Program PAN ECO-SOCP Yayasan Ekosistem Leuser, Gabriella Fredricson mengatakan, penemuan spesies orangutan ini awalnya di tahun 2011 lalu dilakukan penelitian oleh Universitas dari Swiss dan IPB, di mana dari hasil penelitian tersebut disebutkan genetika orangutan di Tapanuli lebih dekat dengan genetika orangutan di Kalimantan dibandingkan genetika orangutan di ekosistem Leuser.
“Ini menjadi menarik karena ada perbedaan ekosistem orangutan yang ada di Tapanuli dengan ekosistem yang ada di Leuser Aceh,” kata Gabriella.
Namun, untuk memastikan perbedaan genetika orangutan tersebut, tidak bisa hanya sebatas dilihat dari perbedaan genetika tapi perlu dilakukan pengukuran morfologi yakni pengukuran tengkorak dan lainnya.
Kemudian, Antoni Cahyo yang melakukan penelitian disertasi dari Universitas Canberra, Australia tentang morfologi orangutan di tahun 2014 melakukan penelitian terhadap tengkorak orangutan Tapanuli, dari hasil penelitiannya ditemukan perbedaan yang signifikan baik dari orangutan yang ada di Kalimantan maupun orangutan yang ada di leuser Aceh.
“Bahkan mereka juga melakukan penelitian suara orangutan Tapanuli yang juga berbeda dengan orangutan lainnya. Dimana panggilan jarak jauh jantan dewasa orangutan Tapanuli berbeda dengan panggilan dari kedua jenis orangutan yang ada. Selain itu, dari sisi ekologi orangutan Tapanuli juga berbeda, mereka memakan jenis tumbuhan yang belum pernah tercatat sebagai jenis pakan,” papar Gabriella.
Dengan populasi yang minim, bahkan tersebar di tiga blok barat di Tapanuli Utara sebanyak 600 ekor, blok timur sekitar 150 ekor dan selebihnya berada di Cagar Alam Sibual Buali, maka jumlah orangutan Tapanuli sangat penting untuk diperbanyak.
“Hal yang dilakukan harus disambungkan populasi orangutan yang terpisah dikarenakan pertanian ataupun jalan dan lainnya. Sebab, di banyak negara sudah dibuat koridor untuk satwa seperti terowongan dan jembatan, sehingga untuk jangka panjang, kita harus memikirkan hal ini,” terang Gabriella.
Mewakili Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Hotmauli Sianturi mengatakan, konsern saaat ini yang harus dilakukan adalah bagaimana ekosistem orangutan Tapanuli ini dapat terjaga.
Apalagi di kawasan hutan lindung Batang Toru juga ada kegiatan usaha dengan Hak penggunaan lahan, sehingga dapat mengancam keberadaan orangutan.
“Tugas kita mengkomunikasikan dengan Pemda agar kita bisa menjaga hal ini, caranya dengan membuat Pergub ataupun Perbup untuk menetapkan areal tersebut sebagai ekosistem satwa sehingga kawasan itu menjadi hutan lindung dan dikelola oleh Pemda,” terang Hotmauli.
Di tempat yang sama, Kadis Kehutanan Sumut, Halen Purba mengatakan keberadaan Orangutan Tapanuli ini bisa menjadi icon Sumut.
“Untuk menjaga ekosistem ini kita akan lakukan pengaturan tata ruang agar tidak merusak ekosistem dan penyelamatan spesies dengan melakukan skema-skema tertentu terhadap kegiatan usaha yang ada di kawasan tersebut,” terang Halen.
(mtd/min)