WALHI Sumatera Utara saat melakukan konferensi pers di Medan,Kamis (1/7). Ist

medanToday.com,MEDAN – WALHI Sumatera angkat bicara terkait Isu gerakan TUTUP TPL yang belakangan ini telah mewacana di berbagai pemberitaan pers dan media sosial. Melalui konferensi pers yang mereka gelar di Kantornya yang berada di Jl. Bunga Cempaka Indah, Medan, WALHI Sumatera menjelaskan adanya berbagai polemik dari keberadaan PT. TPL (Toba Pulp Lestari) dan dampak yang dihasilkan.

Doni Latuparisa, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara menjelaskan, sejak awal kehadirannya perusahaan TPL yang dahulu bernama PT. Inti Indorayon Utama tersebut sudah memunculkan beragam kontroversi, membawa persoalan bagi Rakyat dan Lingkungan Hidup, hingga mendapat penolakan dari masyarakat.

Seperti yang terlampir dalam dokumen Analisis Sosial Masalah Pertanahan (disusun WIM dan AKATIGA, 1993), menyebutkan bahwa kehadiran Perusahaan tersebut masalah sosial yang kompleks, seperti perampasan tanah (kasus di Desa Sugapa), pencemaran udara, pencemaran air, hingga perambahan hutan, dan lain sebagainya. Hingga perusahaan tersebut berganti nama, praktek tersebut masih berlangsung sampai kini.

Parahnya lagi, Perusahaan yang mengekspor bubur kertas ini diduga telah melakukan pelanggaran yang merugikan Negara. Di tahun 2020, bulan Februari, Publik luas di Sumatera Utara dan seluruh Indonesia telah disuguhkan sebuah artikel tentang transaksi fiktif yang sebuah perusahaan industri pulp and paper.

Artikel tersebut ditulis dalam Majalah Tempo dengan judul “Jurus Sulap Ekspor Kayu” merupakan hasil investigasi dalam rentang setahun oleh sejumlah media yang tergabung dalam Indonesia Leaks terhadap PT, Toba Pulp Lestari Tbk yang berada di beberapa kabupaten di dataran tinggi provinsi Sumatera Utara. Perusahaan tersebut terindikasi telah melakukan manipulasi dokumen ekspor bubur kayu ke luar negeri untuk memindahkan keuntungan Perusahaan ke Luar Negeri.

Diketahui, PT. Toba Pulp Lestari sampai saat ini memiliki konsesi seluas 269.060 hektar, dan tersebar di 11 Kabupaten, Simalungun, Asahan, Toba Samosir, Samosir, Dairi, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Pakpak Barat, Padang Lawas Utara dan Humbang Hasundutan. Perusahaan IUPHHK-HT ini mengantongi izin SK MENHUT No. SK.493/Kpts/II/1992 dengan periode izin mula tanggal 1 Juni 1992 hingga 31 Mei 2035 (43tahun).

SK tersebut kemudian di addendum dengan SK. 351/Menhut/II/2004 sehubungan dengan adanya perubahan nama pada tanggal 24 September 2004; SK 58/Menhut-II/2011 TANGGAL 28 Februari 2011 tentang perubahan ke empat atas keputusan Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992; Keputusan Menteri Kehutanan No 109/VI/BHt/2010 tentang persetujuan Revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) dalam jangka waktu 10 tahun, periode 2010-2019 PT. TPL di Provinsi Sumatera Utara; Pemegang Sertifikat PHPL (Pengelola Hutan Produksi Lestari) berdasarkan sertifikat Nomor PHPL 00001 tanggal 25 Oktober 2010; pemilik izin self aprovel dari Direktorat Bina Usaha Kehutanan (S.693/BUHT-3/2011 tanggal 22 Desember 2011).

“Tentunya dengan total luas izin konsesi yang begitu besar diberikan kepada PT. TPL ini akan sangat menjadi ancaman. Tidak hanya perampasan ruang hidup masyarakat yang terjadi, melainkan potensi bencana ekologis sewaktu waktu bisa saja terjadi dan laju deforestase kawasan hutan sangat massif dilakukan. Ini akan menghasilkan dampak multidimensi yang berkepanjangan, ” tuturnya.

Dikatakannya, Satu diantara banyak ancaman yang WALHI Sumatera Utara soroti adalah kondisi Bentang Alam Tele. Lanskap ini memiliki fungsi ekologis yang sangat penting untuk kawasan Danau Toba. Bentang Tele merupakan kawasan hutan terakhir yang masih mungkin untuk diselamatkan, hal ini penting dilakukan untuk memastikan keberlanjutan stabilisasi iklim dan kontrol debit air Danau Toba. Saat ini Bentang Tele sedang menghadapi ancaman oleh PT. TPL sekitar ±68.000 hektar luas konsesi perusahaan tersebut hadir di Bentang Tele.

Selanjutnya, bentang alam tele juga punya fungsi penting untuk memastikan keselamatan puluhan desa di pinggiran Danau Toba. Desa-desa di lembah Samosir menggantungkan hidupnya dari kelestarian hutan ini, karena menjadi sumber air untuk pengairan sawah dan kebutuhan air bersih. Disamping itu, kerusakan hutan tele berpotensi menimbulkan longsor di sepanjang tebing dimana warga desa hidup dan berkehidupan disana.

” WALHI Sumatera Utara menyayangkan jika Pemerintah membiarkan perusahaan perampas wilayah-wilayah adat dan perusak lingkungan tersebut masih beroperasi,” Tegasnya.

Oleh karena itu WALHI Sumatera Utara menuntut kepada Pemerintah untuk Mengusut tuntas segala persoalan yang diakibatkan oleh PT. TPL dan Menutup PT. TPL karena dianggap menjadi akar masalah dari banyaknya konfllik struktural, bencana ekologis, dan deforestase kawasan hutan yang berada di wilayah konsesinya.

========================