dr. Aulia Giffarinnisa (Dokter-RSDC Wisma Atlet) bersama Yusrin Zata Lini (Relawan Jurnalis Bergerak) dan moderator Pascalis Iswari berbagi cerita inspiratif dalam dialog Liputan produktif bertema Berbakti Untuk Kemanusiaan Tanpa Pamrih di Jakarta, Jumat, 4 Desember 2020. (Istimewa)

medanToday.com, JAKARTA – Banyak cara mengabdi untuk kemanusian di tengah pandemi ini. Salah satunya seperti yang dilakukan dr. Aulia Giffarinnisa. Panasnya baju Asmat dan APD tidak membuatnya mundur menjalani tugas di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet, Jakarta.

Awalnya, perempuan yang akrab disapa Farin ini tidak mendapat izin dari keluarga. Sebab, korban jiwa dan kasus positif terus bertambah sejak kasus pertama diumumkan pemerintah secara resmi awal Maret lalu. Berperang dengan virus yang begitu cepat berpindah dan menginfeksi banyak orang membuat keluarganya ragu atas keputusan yang diambilnya ini.

“Saya tidak menyerah dengan keinginan untuk mengabdikan diri dan terus meyakinkan orang tua serta keluarga lainnya. Akhirnya, izin dari orang tua keluar pada Agustus lalu, mulai September saya bertugas di Wisma Atlet,” ucapnya dalam Dialog Produktif yang mengangkat tema ‘Berbakti untuk Kemanusiaan Tanpa Pamrih’ yang diselenggarakan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) di Media Center KPCPEN, Jumat (4/11) dalam rangka Hari Relawan Internasional pada 5 Desember.

Selama bertugas, dokter yang pernah bertugas di Sulawesi Selatan itu mengaku mendapat banyak suka duka, apalagi pada September lalu tempat tidur di komplek Wisma Atlet hampir penuh.

“Awalnya takut, namun akhirnya cepat beradaptasi. Sistem kerja delapan shift, namun karena memakai APD maka harus bersiap satu jam sebelumnya. Selama bertugas tidak boleh membuka APD, jadi tidak boleh buang air dan terpaksa puasa,” ceritanya.

Meski termasuk dokter muda dan dari daerah, Farin merasa aman dan nyaman selama melayani pasien. Dia juga tidak merasa berjarak dengan tenaga medis lainnya. “Di sini semuanya satu misi untuk menangani Covid-19, jadi semuanya disiplin. Beda dengan di luar, masih ada yang cuek dengan protokol kesehatan,” ujarnya.

Diakuinya, dalam dinamika bertugas pasti ada sejumlah tantangan, terutama dari para pasien yang dirawatnya, apalagi Farin bertugas untuk menangani pasien yang masuk kategori bergejala berat. “Agak tertekan ketika menghadapi pasien yang ngeyel karena tidak nyaman dalam perawatan. Kadang mereka sering melepas selang oksigen padahal mereka sangat memerlukannya, hanya saja mereka merasa tidak nyaman,” katanya.

Jika menemukan pasien-pasien seperti itu, Farin mengaku akan melakukan pendekatan secara psikologis. Dia berusaha memahami para pasien banyak tertekan karena tidak ditemani oleh keluarga. “Mereka hanya didampingi dokter dan tenaga kesehatan. Salah satu pengalaman tidak terlupakan menyaksikan bagaimana proses pasien yang satu bulan dirawat dengan gejala parah sekali hingga akhirnya bisa sembuh dan dinyatakan negatif dan diijinkan pulang,” ujarnya.

Kepada masyarakat luas, dr. Farin berpesan agar jangan menunggu dan berpikir lama untuk berkontribusi mulai dari hal yang paling kecil dan mudah dilakukan. “Kontribusi minimal yang dapat dilakukan adalah mencegah penularan dari diri sendiri dan orang di sekitar. Laksanakan protokol kesehatan 3M,” tegas dr. Farin. (mtd/min)