Keluarga tahanan Polsek Sunggal yang meninggal dunia di sel (pakai kerudung) didampingi Tim LBH Medan saat memberikan konferensi pers di Kantor LBH Medan. (Ist)

medanToday.com, MEDAN – “Kepala dan dada abang dipukuli dek…” ucap Sri Rahayu mengenang jawaban abangnya, Joko Dedi Kurniawan di hadapan wartawan saat konferensi pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Jumat (16/10).

Didampingi Sunarsih, istri abangnya, wanita 35 tahun itu mulai cerita, pengakuan itu didengarnya pada saat membesuk Joko di Polsek Sunggal pada 15 September 2020 lalu. Bahkan, dugaan penyiksaan itu juga dirasakan Suprianto, suaminya sendiri yang ikut tertangkap bersama enam pelaku lain, Senin (8/9).

“Suami saya juga ngomong dipukuli. Waktu besuk kedua, Bang Suprianto membisikkan kalau mereka masih disiksa,” ujar Sri lirih.

Selang berapa hari, Sri melanjutkan, dia mendapat kabar tidak sedap dari polisi bahwa abangnya jatuh sakit. Parahnya, Joko dikabarkan sempat muntah darah dan dibawa ke rumah sakit, Jumat (25/9). Tak pikir panjang, Sri lantas mengajak kakak iparnya, Sunarsih menjenguk Joko. Di rumah sakit, dia mengeluhkan dadanya sakit, namun tak sempat membeberkan apa penyebabnya.

Dari resume medis RS Bhayangkara Medan yang ditunjukkan LBH Medan, Joko disebut menderita Kolik Abdomen dan Dyspepsis. Melansir dari berbagai sumber, Kolik abdomen adalah nyeri hebat pada perut yang sifatnya hilang-timbul. Sedangkan Dyspepsis secara sederhana dikategorikan sebagai suatu kondisi yang bisa menyebabkan rasa tidak nyaman pada perut bagian atas karena penyakit asam lambung atau maag.

Sri dan Sunarsih kompak mengatakan bahwa semasa hidup Joko tak ada memiliki riwayat penyakit itu. “Selama ini sehat,” sebut Sunarsih.

Beberapa hari dirawat, tapatnya Senin 28 September, Joko keluar dari rumah sakit dan kembali ke sel tahanan Polsek Sunggal. Akan tetapi, pada Kamis 01 Oktober Joko kembali dirawat, namun hanya sebentar dan langsung diboyong lagi ke ruang tahanan polisi (RTP).

Besoknya, sambung Sri, sekitar pukul 07.00 WIB dirinya mendapat telepon bahwa abangnya (Joko) sekarat. Tapi, berselang setengah jam, dia dikabarkan lagi sudah meninggal dunia. Mendapat informasi, Sri bersama beberapa keluarga datang ke RS Bhayangkara guna melihat kondisi Joko sebenarnya. Begitu tiba, mereka langsung didatangi perawat dan menanyakan soal autopsi.

Dikarenakan masih keadaan berduka dan takut dengan perkataan perawat yang menyatakan kalau autopsi jenazah akan dibedah dan organ tubuhnya dikeluarkan. Itu membuat keluarga tidak tega dan akhirnya mendatangani surat pernyataan.

Namun, lanjut Sri lagi, Kecurigaan pihaknya muncul saat jenazah Joko dimandikan. Dia mengaku menemukan ada luka di bagian kepala dan kondisi dadanya membiru. Inilah yang mendorong keluarga melapor kejadian tersebut ke LBH Medan. Harapannya dugaan penganiayaan itu bisa terungkap.

“Autopsi jenazahnya, biar tau penyebab kematian. Saya belum yakin dia (Joko) meninggal dunia karena sakit. Karena selama ini sehat,” ucap Sri dengan nada berat dan mata berkaca-kaca.

Sebelum Joko, rekannya satu komplotan Rudi Efendi lebih dulu tewas pada Sabtu 26 September. Meninggalnya dua tahanan ini pun membuat geger. Keluarga Joko dan Rudi melapor ke LBH Medan Senin 5 Oktober lalu.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Direktur LBH Medan Irvan Syahputra menyampaikan, setelah mendapat laporan dari keluarga Rudi Efendi dan Joko Dedi Kurniawan, tim LBH Medan melaporkan kasus dugaan penyiksaan itu ke Polda Sumut pada Selasa 6 Oktober 2020. Disusul besoknya ke Bidang Profesi dan Pengamanan ( Bid Propam).

Akan tetapi, sampai saat ini belum diperiksa ataupun dipanggil ke sana. Dan LBH Medan menganggap ini sebagai kejanggalan.

“Sudah 10 hari kita belum ada diperiksa,” ucapnya sambil mengatakan LBH mendesak kasus ini diselidiki secara transparan. Sehingga keluarga korban bisa mendapatkan keadilan.

Menurut Irvan, kejanggalan semakin mencuat setelah mereka melaporkan kasus itu ke Polda Sumut. Mereka juga menduga ada upaya panghalang-halangan terhadap keluarga yang tengah memperjuangkan keadilan.

Sebabnya, saat tim LBH ingin meminta tanda tangan kuasa tahanan lain yang dianggap sebagai saksi kasus dugaan penganiayaan itu merasa dipermainkan. Sudah berulang kali mereka datang ke Polsek Sunggal, namun petugas di sana tampaknya tidak kooperatif.

“Setelah berulang kali kami datang, tapi tetap tidak bisa bertemu dengan para tahanan,” kata Irvan.

Tim yang datang bersama keluarga juga sempat bersitegang dengan personel. Belakangan, pihaknya mendapat kabar jika para tahanan sudah mendapat kuasa hukum.
Sampai sekarang, pihak keluarga belum bisa menemui Suprianto dan Edy Syahputra, suami dan abang kandung dari Sri Rahayu.

Bagi LBH Medan, tindakan penghalang-halangan itu bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. “Untuk hal ini polisi tidak memberi rasa nyaman, aman dan transparan dalam hal penanganan perkara,” ujarnya.

Irvan menambahkan, LBH Medan sudah menyurati Presiden Jokowi, Kapolri, Menkopolhukam, Ombudsman dan Polda Sumut agar memberikan atensi pada kasus ini. Selain itu, dia juga mengaku telah menggalang dukungan dari YLBHI, Amnesty Internasional dan lembaga lainnya. “Sama LPSK juga sudah minta perindungan untuk para saksi,” jelasnya.

Kapolrestabes Medan akan lapor balik jika tuduhan tidak terbukti

Sebelumnya, Kapolrestabes Medan Kombes Riko Sunarko memimpin langsung klarifikasi soal dugaan penganiayaan itu di markasnya, Rabu 14 Oktober 2020. Kapolsek Sunggal Kompol Yasir Ahmadi berikut empat tahanan kasus polisi gadungan itu juga hadir dihadapan wartawan.

Saat memaparkan, Riko membantah soal dugaan penyiksaan yang dituduhkan. “Dari Pemeriksaan internal kami bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi. Hasil dari  pemeriksaan sementara, termasuk keterangan yang disampaikan rekan rekan almarhum tersangka,” katanya.

Riko pun menyebut ada satu tersangka lagi yang masih berada di rumah sakit. Riko berulangkali meminta para awak media bertanya kepada tersangka yang dihadirkan. Edy Syahputra yang ditanyai awak media hanya mengatakan jika Joko sempat mengalami sakit demam.

“Di kepalanya ada bendolan macam angin,” katanya.

“Keluarga saya, saya tidak tahu kalau mereka membuat seperti ini. Karena keluarga bilang kalau polisi itu memukuli. Saya bilang tidak ada memukuli,” tambah Edy dengan kepala tertunduk.

Riko kemudian memberi sinyal akan melaporkan balik keluarga jika tuduhan soal penganiayaan tidak terbukti. Riko mempersilahkan jika ada permintaan autopsi dari pihak keluarga.

“Kalau tidak terbukti, kami secara internal kordinasi dan kemudian akan konsultasi ke bidang hukum Polda, kalau perlu kita akan laporkan balik,” ucapnya.

Menanggapi soal dugaan mempersulit Tim LBH Medan meminta tanda tangan kuasa, Riko malah menanyakan balik. Katanya, para tersangka sudah memiliki kuasa hukum.

“Dipersulitnya di mana? Ada permintaan gak dari saksi-saksi?” sebutnya.

Pernyataan Kombes Riko Sunarko soal melaporkan balik jika tidak terbukti ditanggapi LBH Medan. Kata Irvan, pernyataan itu bukanlah edukasi hukum yang baik untuk masyarakat.

“Itu statemen menakut-nakuti korban yang mencari keadilan. Harapan pihak keluarga adalah untuk mencari titik terang dari berbagai kejanggalan ini,” pungkasnya.

Sebagai informasi, polisi meringkus pelaku pemerasan dan pencurian di kawasan Jalan Ringroad, Kota Medan, Selasa (8/9/2020). Saat melancarkan aksinya komplotan ini menyamar sebagai polisi dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Mereka disebut disergap oleh personel Polsek Sunggal saat mengambil sepeda motor salah satu korbannya.

Kedelapan pelaku yakni M Budiman alias Budi (34) warga Jalan Musyawarah B Gang Ngandri Dusun II Desa Saentis, Percut Sei Tuan, Suprianto alias Lilik (40) warga Jalan Irian Barat Pasar VII Desa Sampali, Percut Sei Tuan, Khairunnisa (18) warga Dusun V Dolok Sono Desa Saentis, Yoga Airlangga alias Langga (20) warga Jalan Rejo Pasar VII Desa Sampali.

Berikutnya, Joko Dedi Kurniawan (36) warga Jalan Saentis Dusun II Desa Saentis, Rudi Efendi (40), warga Jalan Masjid Jame Dusun II Bintang Meriah, Batang Kuis, Diki Ari Wibowo (25) warga Jalan Dusun V Sidoloksono, Desa Saentis dan Edi Saputra alias Putra (32) warga Jalan / Musyawarah B Dusun II Desa Saentis.

Saat proses hukum berlangsung kepada para pelaku, dua diantaranya yakni Rudi Efendi dan Joko Dedi Kurniawan dikabarkan meninggal dunia di dalam sel tahanan. Penyebab kematian yang dibeberkan polisi karena sakit masih menuai tanda tanya. Keluarga Joko dan Rudi melapor ke LBH Medan 5 Oktober lalu. LBH Medan pun menduga penyebab kematian mereka cukup janggal. Kuat dugaan, keduanya disiksa selama menjadi tahanan. (mtd/min)