Salah satu narasumber saat memberikan keterangan di diskusi bertajuk Telusur Jejak Harimau Sumatera di Langkat, yang digelar di sekretariat STFJ Sumut, Jumat (15/1). (Foto: Istimewa)

medanToday.com, MEDAN – Konflik Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) di Kabupaten Langkat menjadi polemik bagi masyarakat yang bermukim di sana. Sebab, saban hari konflik kian memanas dan banyak ternak warga yang menjadi korban.

Peristiwa itu paling banyak terjadi di Kecamatan Besitang, Batangserangan dan Bahorok. Pada Senin (11/1), lima ekor lembu milik warga Dusun Batu Katak, Desa Batu Jonjong, Kecamatan Bahorok mati dalam semalam. Kondisi ini harus menjadi perhatian semua pihak.

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut mencatat, sepanjang 2020 sampai Januari 2021, sudah lebih dari 20 konflik harimau dengan manusia yang terjadi. Bahkan, di antaranya menelan korban jiwa. Akan tetapi, menyikapi persoalan itu perlu solusi yang bijaksana. Paling tidak, Harimau Sumatera yang diambang punah tidak tersakiti, terlebih warga yang berdampingan dengan habitatnya.

Melihat keadaan itu, para jurnalis yang tergabung di Sumatera Tropical Journalist (STFJ) Sumut menggagas diskusi bertajuk Telusur Jejak Harimau Sumatera di Langkat. Diskusi digelar di Sekretariat STFJ Jalan Melinjo Raya, Kecamatan Medan Johor pada Jumat (15/1).

Lembaga BBKSDA Sumut, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah I Stabat ikut hadir memberikan testimoni dan berbagai gambaran solusi. Begitu juga dengan beberapa perwakilan pegiat konservasi seperti Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP), Sumatra Tiger Project, Leuser Conservation Partnership (LCP) dan sejumlah jurnalis yang aktif di isu-isu konservasi lingkungan.

Diskusi yang digelar atas kerjasama STFJ dengan Tropical Forest Conservation Action-Sumatra (TFCA-Sumatera) ini mencoba menggali lebih jauh mengapa konflik tersebut semakin masif.

Direktur STFJ Rahmad Suryadi mengatakan, diskusi ini diselenggarakan berawal dari kegelisahan para jurnalis yang melihat meningkatnya konflik harimau yang terjadi. Bukan hanya di Kabupaten Langkat, seperti kasus teranyar terjadi di Dusun Sigalapang, Desa Meranti Timur, Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Kabupaten Toba. Harimau memangsa ternak warga pada 13 Januari 2021 lalu.

“Kondisi ini tentunya menjadi tanggung jawab semua pihak. Sehingga perlu rumusan dan solusi yang bijak dalam penanganannya. Paling tidak bisa meminimalisir dampak konflik yang terjadi di sejumlah daerah. Kita sebagai jurnalis juga punya tanggung jawab dan kontribusi dalam upaya konservasi lingkungan,” kata Rahmad usai diskusi.

Rahmad berpendapat, sinergisitas antara lembaga sangat penting dalam upaya konservasi. Masing-masing pihak harus membangun koordinasi yang baik sehingga upaya konservasi atau pun penanganan konflik bisa terlaksana dengan maksimal.

“Begitu juga jurnalis yang punya tanggung jawab untuk mengedukasi kepada masyarakat luas. Sehingga mereka bisa memahami soal pentingnya menjaga alam. Manusia harus menghargai alam supaya tetap baik kepada manusia,” ungkap Rahmad.

Sebelumnya, BBKSDA menyimpulkan jika Harimau Sumatera masuk ke wilayah kelola masyarakat karena ada mangsa yang lebih mudah untuk ditangkap. Yakni ternak warga yang tidak dikandangkan.

Ada ratusan ternak yang memang dilepaskan begitu saja oleh masyarakat di kebun yang dikelolanya. Sementara, kebun itu sebenarnya sudah masuk dalam kawasan hutan dan wilayah jelajah harimau yang berbatasan dengan kawasan TNGL. Dan bukan waktu yang sebentar masyarakat sudah mengelola kawasan yang merupakan buffer zone dari kawasan TNGL. Hal itu pun tidak dipungkiri oleh KPH Wilayah I Stabat.

“Kita akan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat jika kawasan itu merupakan home range dari harimau. Artinya, memang perlu pendekatan lebih intensif kepada mereka,” ujar Kepala UPT KPH Wilayah I Stabat Puji Hartono.

Kepala Seksi Perencanaan Perlindungan dan Pengawetan pada BBTNGL Rinaldo mengungkapkan,pihaknya sudah melakukan tabulasi masalah mengapa harimau bisa muncul dan aktivitasnya meningkat di kawasan TNGL. Di antaranya adalah kerusakan lahan, perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan hingga ternak warga yang tidak dikandangkan.

Pihaknya juga berupaya melakukan upaya persuasif ke masyarakat untuk tidak melakukan perburuan satwa di dalam kawasan hutan. Dugaan yang mencuat adalah soal penurunan jumlah pakan satwa di hutan. Sehingga harimau bisa masuk ke kawasan kelola masyarakat. Sementara, ada peningkatan populasi satwa sehingga kebutuhan semakin meningkat.

“Perlu sosialisasi dan saran kepada masyarakat agar melakukan pengandangan ternaknya,” kata Rinaldo.

Pengandangan memang menjadi salah satu solusi cepat meminimalisir potensi konflik. Meskipun para pemangku kebijakan harus membahas solusi lebih jauh agar tidak ada pihak yang tercederai. Termasuk upaya mengurangi tingkat perburuan satwa liar dilindungi. Pun begitu, solusi pengandangan ternak juga memiliki tantangan.

Selain itu, Program Manager WCS-IP Tarmizi mengatakan, program pengandangan ternak terkendala lahan. Ada juga masyarakat yang memiliki ternak tapi tidak memiliki lahan untuk kandangnya.

“Ini menjadi PR kita bersama. Solusi lainnya, masyarakat harus diberikan pemahaman tentang bagaimana menanam pakan ternak sendiri. Sehingga tidak lagi melepas ternaknya di perkebunan,” jelas Tarmizi.

Staff Capacity Building LCP Ismail mengatakan, jika pengandangan bisa dilakukan secara kolektif maka bisa menghemat biaya dalam pembangunannya.

Sementara itu, Khairul Azmi dari Sumatra Tiger Project berharap ada satuan tugas yang dibentuk untuk penanganan konflik harimau. Kepala daerah se tempat yang harusnya berkewenangan membentuk Satgas ini. Sehingga ada langkah cepat dan koordinasi baik dalam penanganan konflik.

Perubahan Pola Beternak Perlu Kerja Ekstra

Kepala BBKSDA Sumut Hotmauli Sianturi menjelaskan, upaya perubahan pola peternakan masyarakat tentunya bukan pekerjaan mudah. Harus ada kerjasama lintas pihak untuk memberikan pemahaman kepada mereka. Hotmauli pun berharap Dinas Peternakan di daerah setempat juga memberikan perhatian kepada para peternak.

“Mengubah pola peternakan ini sangat penting dilakukan. Sehingga masyarakat tidak lagi merasa dirugikan dengan kehilangan ternaknya karena dimangsa harimau,”ungkapnya.

Hotmauli juga mengapresiasi langkah STFJ menggagas diskusi lintas lembaga di tengah maraknya konflik satwa.”Saya pikir ini sangat bagus. Diskusi seperti ini harus sering dilakukan. Ini juga merupakan peran jurnalis agar bisa mengedukasi masyarakat. Ke depan boleh lagi dan melibatkan stakeholder lainnya yang lebih banyak,” pungkasnya.

Saat ini BBKSDA bersama stakeholder lainnya juga sudah memasang kandang jebak untuk harimau. Jika masuk ke kandang jebak, maka nantinya akan dilakukan translokasi terhadap harimau tersebut.(mtd/min)