Aksi unjuk rasa menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja di Kota Medan berakhir ricuh, Kamis (8/10). Foto: Dedi Sinuhaji for medanToday.com

medanToday.com, MEDAN – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut mengkritik keras tindakan kepolisian dalam mengamankan unjuk rasa penolakan Omnibus Law yang beberapa waktu lalu dilakukan di Medan dan kota lainnya.

Staf Advokasi KontraS Sumut, Ali Isnandar mengatakan, pendekatan polisi mengatasi gejolak demonstran masih menggunakan cara-cara konvensional, refresif dan cenderung mengabaikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Dari amatan KontraS, ada sejumlah dugaan pelanggaran yang dilakukan kepolisian saat mengawal unjuk rasa. Salah satunya penggunaan kekuatan berlebihan, itu tidak proporsional dengan tingkat ancaman yang akan dihadapi, bahkan dari situ aparat cenderung menunjukan kearoganannya.

Sebagai contoh, kata Ali, pada saat pembubaran massa Aliansi Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat (AKBAR) Sumut pada 20 Oktober kemarin. Peserta aksi yang sedang melakukan longmarch malah dipecah dan ditembakan gas air mata. Kemudian, penangkapan peserta aksi bernama Habiburahman saat unjuk rasa 21 Oktober di Bundaran SIB, Medan. Dia diringkus dengan tuduhan diduga terlibat pengerusakan saat aksi 8 Oktober di depan kampus ITM Medan. Dan polisi menciduknya paksa tanpa bisa menunjukkan surat penangkapan.

Langkah seperti ini sangat disayangkan, padahal Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 7 Tahun 2012 sudah diatur bagaimana tata cara pelayanan pengamanan dan penanganan perkara pada penyampaian pendapat dimuka umum.

“Jika merujuk dari Perkap itu, polisi memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan secara profesional” kata Ali dalam keterangan tertulis yang diterima medanToday.com, Sabtu (24/10).

Tidak hanya itu, lanjut Ali, KontraS juga menyoroti penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan polisi kapada demonstran dengan dalih mengamankan. Padahal di KUHAP tidak ada ditemukan istilah mengamankan, tapi penangkapan. Merujuk dari itu, maka setiap orang yang ditangkap harus diberikan Surat Perintah Penangkapan.

“Tindakan (penangkapan) ditujukan kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana dan harus ada dua alat bukti yang cukup. Hal ini diatur di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP,” jelasnya.

“Jika ada massa tertangkap tangan, semestinya yang tidak ikut melakukan tak perlu dibawa. Ini ditangkap dulu, baru polisi menyeleksi siapa yang merusak dan hanya sekedar ikut aksi. Harusnya polisi sudah memiliki bukti kuat baru melakukan penangkapan. Parahnya lagi udah ditangkap masih saja dipukuli,” tambahnya.

KontraS juga menilai perlakuan polisi kepada para demonstran yang ditangkap tidak manusiawi. Mulai dari praktek kekerasan, diminta melepaskan baju sampai dengan disuruh jalan sambil jongkok. Menurut Ali, model begini sudah membudaya di kepolisian. Padahal itu bentuk penghukuman yang merendahkan martabat manusia, apalagi dilakukan kepada demonstran yang bukan pelaku tindak pidana.

Seharusnya, sambung Ali, kehadiran aparat memberikan jaminan atas perlindungan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Jika mengacu pada Pasal 3, Perkap Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Massa. Pasal ini bertujuan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat yang sedang menyampaikan pendapat atau aspirasi di depan umum demi terpeliharanya ketertiban umum.

Menyikapi keadaan ini, KontraS Sumut mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) melakukan evaluasi besar dalam pengamanan dan penanganan terhadap demonstran. Penggunaan kekuatan berlebihan, praktek kekerasan, pembubaran aksi dan penangkapan sewenang-wenang tidak bisa dibiarkan. Karena ini bisa jadi pembenaran bagi polisi untuk membatasi orang-orang menyampaikan pendapat.

Selain itu, Komnas HAM dan Kompolnas agar mengambil langkah konkret sebagaimana fungsi dan wewenangnya dalam undang-undang. Melakukan kajian, investigasi hingga mengambil langkah hukum maupun administratif terkait menyebarnya tindakan refresif kepolisian diberbagai daerah saat pengamanan ujuk rasa.

“Sebab, jika kedua lembaga ini diam maka HAM hanya akan menjadi coretan tanpa makna di undang-undang” tutupnya. (mtd/min)