Koordinator aksi Budikarta Bukit saat diwawancarai medanToday.com di lokasi mogok massal. (Dok: medanToday.com)

medanToday.com, MEDAN – Sopir angkutan umum (Angkot) di Kota Medan mengaku penghasilannya menurun secara drastis selama dilanda pandemi Covid-19. Bahkan, sebagian besar dari mereka tidak ada mendapat bantuan dari pemerintah.

Keadaan itu disampaikan Budikarta Bukit kepada medanToday.com saat menggelar mogok massal terkait beroperasinya Bus Trans Metro Deli, di Fly Over Jamin Ginting Medan pada Senin (16/11) kemarin malam. Bukit menyebut selama pandemi pendapatan para sopir angkot rata-rata menurun sampai 50 persen dari keadaan sebelumnya.

“Sebelum pandemi Covid-19, pendapatan sopir tiap harinya bisa mencapai Rp100 ribu, sekarang dapat Rp50 ribu saja sudah susah,” ucap pria yang sehari-hari membawa angkot Rahayu 103 itu.

Menurutnya, situasi itu dikarenakan selama pandemi masyarakat diimbau lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk menghindari penyebaran virus Corona. Ditambah lagi pelajar dan mahasiswa diliburkan lantaran sistem belajar mengajar dibuat dari rumah masing-masing secara daring.

Selain itu, menjamurnya transportasi online juga menambah deretan kepelikan ia dan kawan-kawan senasibnya. Sebab, sudah penumpang semakin sedikit saingan malah menjadi banyak sehingga peluang mendapatkan penumpang semakin kecil.

“Penumpangnya makin sedikit. Tapi saingan seperti Gojek, Grab dan terbaru Maxim serta Oke Jack jumlahnya terus bertambah. Mau dibawa kemana lagi masa depan para sopir ini,” ucap pria berumur 47 tahun itu dengan nada kesal.

Belum lagi Bus Trans Metro Deli yang baru-baru ini dioperasikan pemerintah yang penumpangnya tidak dipungut biaya alias gratis sampai akhir Desember. Kondisi ini semakin memperburuk ekonomi para spoir angkot di Kota Medan. Berangkat dari hal itulah mereka melakukan mogok massal sejak Pukul 15.00 sampai 20.40 WIB.

Selama hampir tiga bulan tidak bekerja akibat situasi pandemi, Bukit mengaku baru satu kali mendapat bantuan sembako dari pemerintah melalui kepala lingkungannya.

“Harapan kami di penumpang. Sekarang, mau kemana lagi kami cari pencaharian untuk hidup? Penumpang yang biasa paling tinggal 50 persen. Itu pun lebih suka mengurung diri karena takut terpapar pandemi,” ujarnya lesu. (mtd/min)